7. Persiapan Pernikahan

147 15 0
                                    

Usai semua rangkaian pengajuan terlaksana, tanggal pernikahan semakin pasti. Tempat pelaksanaan pernikahan, baju pernikahan, make up, undangan dan lain sebagainya sudah jelas harus ke mana. Tapi selalu seperti orang-orang katakan, ujian pertama dari sebuah pernikahan selalu saja tentang persiapan. Perdebatan? Jelas baik aku maupun Cika selalu mengutarakan pendapat kami masing-masing, tidak mungkin perdebatan terhindarkan. Itu bukan masalah besar, aku lebih tenang menghadapi perdebatan dan Cika pun bisa mengimbangi itu.

Hanya saja akhir-akhir ini banyak yang menggangguku seperti Cika yang memaksa mata dan jari-jarinya bekerja lebih lama dengan alasan ia harus segera menyelesaikan skripsinya sebelum kami menikah. Saat aku bertanya sejauh mana kurangnya ia mengatakan itu cukup banyak sebab data yang ia punya pun masih kurang, belum mengolah datanya nanti. Iya itu kewajibannya untuk menyelesaikan pendidikan tapi baik aku, ayahku maupun orang tuanya tidak menghendaki Cika untuk memaksa tubuhnya.

Bukan, bukan tidak tahu bagaimana beratnya tugas akhir. Aku juga begitu dulu. Memaksa diriku sendiri sampai batas yang terkadang di luar kemampuanku. Hanya saja, persiapan pernikahan yang rumit dan melelahkan jika dibarengi dengan pengerjaan skripsi yang dipercepat bukan ide yang baik. Tubuh lelahnya, pikiran penuhnya,  ambisinya, itu semua akan membuat emosinya tidak terkendali dan aku juga bukan orang yang sabar. Bisa jadi aku ikut meledak, lebih-lebih jika Cika sakit.

Ah, aku bahkan tidak bisa menjelaskan kekhawatiranku pada Cika dengan baik.

"Mas, kalau misal tanggal nikahannya diganti tanggal 11 Februari gitu nggak bisa ya?" tanya Cika di sela perjalanan kami menuju tempat percetakan undangan.

Aku segera menepikan mobilku hingga menerima banyak klakson sebab terlalu mendadak meskipun menyalakan lampu sein. Memangnya pasangan mana yang tidak kaget dengan pertanyaan itu?

"Kamu tanya apa tadi?"

Cika diam.

Aku dengar, dengan jelas aku mendengarnya. Keadaan mobil kami hening, hanya ketukan papan ketik sebab Cika memanfaatkan waktu perjalanan untuk merampungkan skripsinya. Suara ketukan papan ketik pun tak lantas membuatku tuli. Aku hanya ingin memastikannya sekali lagi. Pertanyaan gila macam apa itu? Sayangnya Cika tetap bungkam.

"Kamu tahu kan tinggal 32 hari lagi? Ini kita aja mau cek undangan loh."

Terlihat dari samping bibir Cika melengkung ke bawah.

Sejujurnya aku sudah mendengar pertanyaan ini sejak 4 hari yang lalu. Setiap hari aku mendengarnya.

"Aku tanya sekali lagi, sebenarnya apa alasan kamu ndak mau tanggal 4 Februari?"

Cika diam.

"Awal Desember lalu waktu Ayah, Papa, dan Mama menentukan tanggal 4 Februari kamu bilang tidak masalah. Itu waktu yang pas. Kenapa sih?"

Tetap tidak ada jawaban sama seperti 4 hari sebelumnya. Ia tak mengatakan alasannya.

"Karena skripsi? Aku bilang nggak masalah, nanti setelah menikah dilanjutkan, bahkan sebelum menikah juga aku biarkan kamu selesaikan skripsimu seperti sekarang. Aku cuma minta jangan dipaksa tubuhnya, kalau sudah kerasa nggak enak, cukup, istirahat dulu. Kalau pun kamu minta aku aja yang fokus ke pernikahan ke sana ke mari urus semuanya, aku nggak masalah asalkan kamu kasih tau pernikahan impian kamu seperti apa atau kamu memang mau memaksa diri kamu semampumu untuk terlibat dalam persiapan pernikahan pun aku senang. Ini sekali seumur hidup kita, ayo siapkan dengan baik. Tapi kalau sudah tinggal satu bulanan lagi kamu minta diundur, batalin gedung, memberi kabar kerabat lagi, batalin make up, semuanya nggak akan mudah. Oke, soal batalin paling kita kehilangan uang, bisa uang tuh dicari. Tapi perasaan senang dan antusias orang tua kita gimana, Cika? Apa iya kita patahin gitu aja? Waktu juga yg mereka gunakan buat ikut andil mengurus ini itu jadi semakin panjang."

"Maaf, Mas. Nggak usah dibahas lagi," tanggapannya pun sama. 4 hari ini sama, tapi esok hari akan muncul pertanyaan yang sama.

Menghela napas. "Kamu bilang gitu tapi besok akan tanya hal yang sama. Kenapa sih alasannya? Bener karena skripsi? Aku udah bilang..."

"Iya, Mas, iya."

Lagi dan lagi menghela napas panjang. "Besok-besok lagi aku nggak mau bahas perubahan tanggal. Iya undangan belum naik cetak, kita tinggal cek terakhir kok ini, tanggal bisa diubah. Tapi kalau mau jujur, aku tetap pada pendirianku ikut keputusan awal dari keluarga tanggal 4 Februari. Kalau besok kamu tanya hal yang sama lagi, aku bakal lebih tegas jawabnya apapun alasan kamu. Ayahku tidak sewaras dulu, tubuhnya mudah lelah, hari-hari bahkan aku harus siap kehilangan. Papa dan Mama iya, jelas mereka antusias, anak tunggalnya akan menikah tapi ayahku bisa jadi di level lain, sudah lama beliau menunggu momen ini bahkan hari-hari mencoret kalender di dinding kamarnya, menghitung hari demi hari. Ayahku cuma nunggu aku nikah sebelum pergi, Cika."

Nadaku mungkin lembut tapi kalimatku cukup menohok bagi Cika, itu mengapa ia menundukkan kepalanya.

Ada hening di antara kami, hanya lalu lalang sepeda bising yang menjadi latar belakang. Aku mencerna ulang semua kalimatku, mencerna ulang semua kisah dan kelakuanku. Sementara Cika, aku tak tahu apa yang ia pikirkan.

"Maaf kalau ada kata-kata atau kelakuanku yang nggak enak. Ini juga pertama kalinya buat aku, ngurus pernikahan, mencoba menghadapi kamu yang akan seumur hidup sama aku. Maaf, aku masih terus meraba-raba harus apa."

"Ini juga bukan kedua kalinya buat aku, Mas."

Menggangguk. "Maaf, tapi Cika, aku mau jujur."

Menoleh setelah sejak awal ia menghindari pandangan kami bertemu.

"Aku cuma punya satu mantan dan itu sudah lama. Katakan begini, kepekaanku terhadap perempuan tidak terasah dengan baik, bahkan di hubungan sebelumnya memang tidak terasah." Diam sejenak. "Kamu tahu salah satu pondasi dalam hubungan jangka panjang kan?"

Mengangguk. "Komunikasi."

"Benar, dan aku yang kepekaannya tidak terasah ini kalau kamu tidak bilang tidak akan tahu apa-apa. Bahkan sekalipun hasilnya perdebatan itu akan terselesaikan. Apapun itu tolong katakan. Yang tadi pun terima kasih tapi kamu tidak mengatakan alasannya apa, tak masalah tapi aku ingin kita lupakan itu dan fokus sama apa yang akan kita kerjakan. Waktunya nggak banyak, kamu lelah karena skripsi, aku lelah karena pekerjaan, selama kamu tidak mau menjelaskan alasannya maka jawabanku tetap sama, tidak ada perubahan tanggal."

Cika sepertinya nampak ragu.

"Kalau kamu punya alasannya, oke, katakan kita bisa rundingkan dengan keluarga. Seandainya keluarga setuju kit..."

"Nggak, Mas. Kita tetep ke rencana awal. Aku, aku kayanya cuma banyak pikiran dan gugup aja. Maaf, harusnya aku nggak cuma mikir soal kita tapi soal ayah, Papa, dan Mama juga." Cika memotong kalimatku.

Mengangguk-angguk. Meskipun sebenarnya aku bertanya-tanya mengapa Cika bisa mempunyai pemikiran untuk mengganti tanggal pernikahan? Agaknya aku tak puas dengan jawaban Cika.

"Kita mampir makan dan minum dulu aja ya? Kayanya kamu laper," ujarku setelah mendengar suara perut dan dipastikan bukan perutku.

Tak butuh waktu lama untuk mengubah mimik wajah Cika. Bibirmya yang melengkung ke bawah masih sama tapi rona malu di pipinya menambah gemas wajahnya.

"Ih! Kedengeran ya?"

Menggangguk.

"Maluuuuu!" Menutup wajahnya dengan tablet yang baru saja ia lepas dari papan ketiknya.

Aku hanya bisa menahan tawa juga tanganku yang ingin sekali mencubitnya. Masih secanggung itu untuk menyentuhnya dalam tanda romantis. Perasaanku juga sebatas suka yang malu-malu.

Ah, tapi ini hanya sebagian gambaran persiapan pernikahanku dan Cika. Gadis yang sebenarnya belum benar-benar kukenal tapi sudah kuputuskan bahwa jadwal tetap harianku seumur hidup ialah mengenalnya.

🌸🌸🌸
Bersambung...
Hollaaaa balik lagi wkwk

Neverland 408Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang