4. Her Answer Finally Came

233 34 7
                                    

Ini sudah 2 bulan sejak terakhir aku bertemu dengan Cika. Dari September Ceria hingga November Rain, aku tidak mendapatkan jawaban apapun, aku juga tidak pernah bisa menemui atau menghubunginya. Selama ini kami memang tak menyimpan nomor telepon satu sama lain, lebih seringnya Mbak Ayu yang menyampaikan ini itu termasuk saat aku harus menjemputnya kala itu. Ah, agaknya memang aku ini terlalu cepat mengatakan niatku, aku terlalu cepat tertarik, aku tidak sabaran dalam hal ini. Haha, aku malu sendiri, cinta butuh waktu tapi tertarik bisa dalam hitungan detik ternyata.

Hari ini aku mendapat cuti tahunan, aku pulang ke Magelang untuk gantian merawat ayah yang sudah diperbolehkan rawat jalan meskipun sebenarnya kondisi ayah tidak baik. Hanya bisa banyak berbaring dan berjemur sebentar di pagi hari saja, Bicara masih lancar tapi tidak dengan tulang-tulangnya. Ayah benar-benar menggunakan tulangnya untuk negara puluhan tahun hingga saat masa senjanya semua rasa sakit itu datang. 

Sampai di Magelang, aku terkejut sendiri dengan banyaknya barang juga makanan jawa khas orang hajatan berserakan di lantai rumah yang catnya tidak berubah sejak aku kecil. Apa Mbak Ayu sekarang membuka jasa paket seserahan? Bahkan untuk liburan dengan anak-anaknya saja tak banyak waktu, ini malah ambil pekerjaan paruh waktu. Apa Mbak Ayu semiskin itu? Apa suaminya tidak menambah uang bulanan? Ah, jika iya mungkin aku harus turun tangan untuk memarahi Mas Yudha. 

Melangkahi satu per satu barang menuju kamar tapi langkahku terhenti setelah Mbak Ayu menegur, "Ah, kirain nggak jadi cuti. Udah panik juga. Bantuin nih! Masih banyak yang belum dikemas." Duduk dengan beberapa box akrilik di depannya. 

"Enak aja! Pesanan situ mah kerjain sendiri lah! Btw, Anta nggak di rumah, Mbak?" tanyaku.

"Pesananku? Ini yang butuh kamu ya! Anta sama Mas Yudha ke toko emas, ngambil cincin. Ayo lah ini keburu sore!" Menarikku untuk duduk di depannya. 

"Aku? Aku butuh ini? Mau ngapain? Ada rencana apa lagi?" Menatap Mbak Ayu curiga. "Mau dijodohin sama manusia bentukan apa lagi? Yang dewasa matang sampai bocil kematian sudah, nggak ada yang mau, Mbak."

Mbak Ayu melemparkan gulungan plastik pembungkus kado ke arahku, tak lama gunting pun melayang. Mbak Ayu memang memiliki tempramen yang buruk denganku, padahal dengan anak-anak dan suaminya sangat lembut. "Yang minta langsung lamaran siapa? Yang ngajak nikah anak orang kaya ngajak jajan telur gulung siapa? Ini masih mending Mbak mau ngurusin semuanya."

Dahiku  mengernyit. "Aku?"

"Enggak, tukang bakso depan rumah! Ini kamu sama Cika komunikasinya gimana?"

"Hah? Komunikasi apanya? Mbak, aku punya nomornya aja enggak. Semuanya kan dari Mbak Ayu."

Mbak Ayu menghela napas dengan berat. "Berarti Cika pesan cincin nggak sama kamu?"

"Pesan cincin apa lagi? Ini jelasin dulu apa ini?"

"El! Sumpah deh jangan bikin Mbak marah-marah, ayah lagi tidur juga!"

"Mbak aku beneran nggak tahu, Mbak, ini udah plonga-plongo level 14."

Mbak Ayu mulai mengernyitkan dahinya. "Beneran nggak tahu? Terus ini semua buat apa kalau ternyata nggak jadi? Ah, tapi nggak mungkin lah. Orang Tante Irma sama Om Bowo ke sini sendiri kok kalau Cika udah ngasih jawaban jadi ke sini tuh tanya sama ayah mau ngelamar kapan jadinya."

Memasang wajah tak percaya.

"Ayah bingung lah, ayah juga bilang kalau kamu belum bilang apa-apa sama ayah. Terus Tante Irma bilang kalau kata Cika kamu ngajakin nikah kaya ngajakin anak tetangga beli telur gulung. 'Cika, beli telur gulung depan pom bensin yuk!' Aku sama ayah syok berat sih tapi ayah nggak sempet marah saking senengnya anaknya mau nikah. Udah khawatir tahu!"

Neverland 408Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang