Hari terus berjalan, komunikasi kami semakin baik meskipun sebenarnya aku penasaran akan satu hal yang membuatnya selalu ketakutan tapi aku tidak ingin menanyakannya lebih lanjut. Aku takut ia tak nyaman, lebih baik menunggu kapanpun ia siap membagikan ceritanya. Yang sekarang ini sedang kami kejar adalah persiapan pengajuan. Cika sibuk dengan berkas-berkas yang dibutuhkan sembari mengerjakan skripsinya dan aku pun menyiapkan beberapa berkas yang diperlukan juga. Sesekali saat ada waktu senggang 1 jam 2 jam aku menemaninya mengerjakan skripsi di salah satu kafe dekat kampusnya.
Sudah beberapa minggu berlalu, aku selalu menanyakan banyak hal yang harus sekali aku tahu termasuk perihal kuliahnya, kapan sebenarnya ulang tahunnya, dan lain sebagainya. Maka aku akan menceritakan ini pada kalian.
Macika Anantari, mahasiswi jurusan Pendidikan PPKN di salah satu universitas di Solo. Saat ini ia sedang menyelesaikan skripsinya yang katanya sedikit lebih cepat dibandingkan teman-teman yang lain. Ia lahir di Magelang, 8 April 2002 dan benar jarak usianya denganku adalah 9 tahun. Sangat jauh? Ya. Sejauh tinggi badan kami juga, tinggiku 181 cm dan Cika 156 cm. Bukan hanya usia, bahkan secara fisik ia seperti anak kecil yang sedang bermain bersama pamannya jika bersamaku.
Akan tetapi, pemikirannya acapkali membuatku terkejut perihal pendidikan anak. Sekali lagi, itu yang membuatku penasaran sejak pertama kali berbincang dengannya perihal perjodohan kami. Mengapa perempuan seusia itu sudah memikirkan pendidikan anak di saat anak-anak seusianya belum memikirkan pernikahan atau jika memikirkan pernikahan pun masih banyak yang berpikir hanya soal cinta dan kasih sayang, soal materi dan kemampuan finansial. Padahal pernikahan memang sejauh apa yang dipikirkan Cika.
Kalian ingin mengetahui darimana ia mendapatkan semua itu? Aku akan menanyakannya hari ini, saat aku juga sedang menemaninya mengerjakan skripsi di salah satu kafe di belakang kampusnya.
"Em, aku boleh nanya nggak?" tanyaku pelan-pelan takut mengganggu konsentrasinya tapi memang sangat mengganggu.
Cika menghentikan gerakan tangannya di atas papan ketik lantas mengangguk. Matanya ke arahku, menunggu pertanyaanku. Adab sederhana yang terkadang dilupakan anak sekarang. Jika ada yang berbicara berikan perhatian, ini adab sederhana yang disepelekan.
"Em, soal pemikiranmu tentang pernikahan dan pendidikan anak. Ada alasan khusus kah? Atau memang karena kamu calon guru dan bahkan dari jurusan yang sangat berhubungan dengan Pancasila juga kewarganegaraan jadinya secara tidak langsung mengajarkan kamu tentang kehidupan pernikahan dan pendidikan anak?" tanyaku membuat Cika tersenyum sebelum pertanyaanku selesai namun senyumnya hilang begitu ia hendak menjelaskan.
Menghela napas, menatapku sekilas lalu menunduk lesu lagi. "Sejujurnya, ini berawal dari keresahanku selama PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) di salah satu SMK di Kabupaten A lah ya, nggak usah aku sebutkan toh menurut cerita dari teman-teman dan apa yang kulihat memang sebenarnya fenomena di sekolah saat ini sama atau hampir sama."
Aku mendengarkannya dengan penuh perhatian. Ini menarik bagiku sebab meskipun seorang tentara yang bertugas mengamankan negeri, tapi memperhatikan pendidikan di Indonesia saat ini merupakan kewajiban setiap warga negara agar mampu memberikan kritisi atau bahkan mudah untuk mengelola pendidikan anak di masa depan.
"Jadi di SMK A ini selama aku PPL itu, Mas. Setiap hari aku kaya tawaf tapi nggak di Ka'bah, Mas."
Mengangkat kedua alisku.
"Jadi, SMK A ini memang membuat peraturan di jam pagi akan ada literasi, yang islam membaca Al-Qur'an, Kristen/Katolik dan Hindu membaca kitabnya masing-masing. Kebetulan Budha dan Konghucu nggak ada di sana ya ini. Sejauh aku PPL di sana sih aman nih jam literasi, karena guru jam pertama harus banget sudah sampai di kelas dan memimpi literasi. Meskipun akhirnya aku tahu sih ada satu dua murid yang terlambat bukannya ke kelas malah ke kantin. Pas ketemu aku di kantin karena disuruh buat ngecek apa ada anak bandel yang nggak mau literasi dan ternyata ada lagi, hari terakhir PPL di sana waktu itu, aku inget banget. Pas tak suruh ngaji, nggak bisa, Mas. Iqro' 1 aja belum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Neverland 408
RomanceNeverland, dunia dalam dongeng disney yang menghipnotis banyak penikmatnya. Tokoh PeterPan yang menyukai Wendy, tokoh TinkerBell yang menyukai PeterPan, hingga tokoh Terence yang secara tidak sadar jatuh hati pada TinkerBell. Mereka semua hidup di N...