Meskipun sudah mulai tau banyak hal tentang Cika, tapi itu tidak akan pernah cukup. Mengenalnya perlu waktu seumur hidup, sebab akan ada sisi-sisi baru yang mungkin harus kuketahui atau mungkin sisi Cika yang tersembunyi. Maka, hari-hari selama persiapan pernikahan kami adalah hari-hari di mana aku berusaha mengenalnya lebih jauh. Kalian mungkin juga penasaran.
Solo masih hujan saat aku sedang menjemput Cika untuk memulai serangkaian pengajuan. Cika tak banyak tanya ini itu terkait pengajuan, ia bilang sudah banyak belajar dari sang ibunda. Aku juga sudah banyak menjelaskan tentang pekerjaanku padanya, tentang apa yang aku lakukan, tentang semua yang dibutuhkan untuk pengajuan.
"Mas, aku masih punya banyak cita-cita yang belum tercapai, aku nggak mau ya mati muda," celetuk Cika membuatku terkekeh lalu kembali menatap ke arah depan. "Lagian ngapain sih dari tadi ngelihatin aku terus? Kurang cocok ya?"
Menggeleng sembari tersenyum. "Cocok kok, cuma seneng aja calon asetku nggak bisa diliat orang lain lagi," balasku tidak mengalihkan pandangan.
"Dih, pinter banget ngalusnya, Om!"
Aku terkekeh. Ya, Cika, gadis mungil yang setiap harinya membuatku penasaran dengan isi otaknya itu kini tampil dengan mahkotanya. Kupikir ia perlu waktu lama untuk menuruti ucapanku, sebab menutup kepala yang biasanya terbuka itu cukup sulit tapi ternyata ia melakukannya dengan baik.
"Makasih ya. Aku nggak lagi ngalus tapi kamu cantik."
Tidak ada tanggapan dari kalimatku di atas hingga membuatku menoleh menatapnya yang ternyata sedang menunduk lesu.
"Kenapa? Aku salah bicara ya?"
Menggeleng. "Aku malu aja, Mas."
"Salting?" godaku.
"Enggak!" tolaknya tegas. "Nggak tau, aku tuh malu, sebel, benci."
Dahiku mengernyit. "Aku salah ya?"
Menggeleng. "Nggak tau, ke diri aku sendiri kayanya. Aku tuh kemarin sok keren banget. Ngomongin kegelisahanku ini itu ke kamu, aku ngerasa keren banget di depan kamu. Kaya aku tuh imbang banget buat kamu tapi ya gitu aku cuma sok keren aja yang sebenarnya juga nggak imbang buat kamu."
"Ngomong apa deh kamu ini? Kamu keren kok," potongku saat Cika menjeda kalimatnya. Bagiku dia memang keren, semua pemikirannya kemarin, tidak banyak orang punya pemikiran semacam itu.
"Ih, dengerin aku ngomong dulu!" tegasnya dengan raut wajah kesal.
"Iya, iya, monggo, Ndoro Ayu!"
"Ish, nggak tahu deh, kaya makin kesel jadinya sama diri aku sendiri. Malu juga. Udah kemarin sok keren di depan Mas El, kaya masih banyak kurangnya, bahkan pakai hijab aja buka tutup tapi sok-sokan ngomongin adab dan agama. Kaya artis yang naik jalur kontroversi tapi tiba-tiba jadi calon gubernur cuma karena dia lucu terus sok-sokan ngritik pemerintah penguasa soal tata kelola kota padahal dirinya sendiri nggak tahu apa itu tata kelola kota, menata tutur katanya di televisi saja belum bisa. Kaya, ah gimana sih jelasinnya pokoknya aku malu banget!"
Dari setiap kalimatnya aku tahu dia malu sekali. Bahkan tatapannya saat pertama bertemu denganku hari ini berbeda, Cika banyak menghindari mataku saat berbicara.
"Pas diingetin Mas El kemarin kaya, 'Nggak tau malu banget sok keren tapi nggak lihat diri sendiri. Harusnya nggak gitu!' Harusnya aku tuh emang nggak boleh banyak omong kalau aku sendiri belum bener kan, Mas? Kamu pasti ilfeel sih sama aku, Mas."
Tersenyum. Entah kenapa aku justru menganggap ekspresi Cika dan kalimatnya menggemaskan. Wajah malunya, pipi semu merahnya, ungkapan malu yang ia utarakan, menggemaskan sekali.
![](https://img.wattpad.com/cover/358038037-288-k944461.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Neverland 408
RomanceNeverland, dunia dalam dongeng disney yang menghipnotis banyak penikmatnya. Tokoh PeterPan yang menyukai Wendy, tokoh TinkerBell yang menyukai PeterPan, hingga tokoh Terence yang secara tidak sadar jatuh hati pada TinkerBell. Mereka semua hidup di N...