8. Hari Pernikahan

124 18 2
                                        

Saat menjalani hari-hari menuju pernikahan, acapkali aku merasa lelah menghadapi perdebatan. Perbedaan yang awalnya seolah tak ada, kini menampakkan presensinya sedikit demi sedikit. Beberapa kali pun terkejut dengan sifat Cika yang baru kuketahui tapi begitulah kata Ayah bahwa menikah ialah pengenalan tanpa henti. Setiap hari kita akan belajar mengenal satu sama lain, akan terkejut dengan perubahan sifat atau mungkin sifat-sifat terpendam yang baru saja menampakkan diri. Yang perlu kita lakukan ialah memahami sifat-sifat itu, mengimbangi, pun meluruskan sifat yang salah. Terlebih bagi kaumku, laki-laki ialah imam yang bertanggungjawab meluruskan tulang bengkok.

Menghembuskan napas panjang setelah menghirupnya dalam-dalam. Perasaan gugup yang sejak semalam tak pernah enyah, bahkan meskipun sudah terdistraksi dengan pemikiran tentang sifat-sifat Cika yang baru kumengerti. Sejak semalam pun rinduku pada Ibu semakin menggebu, bahkan pukul 11 malam aku datang ke makam Ibu hanya untuk diam memberi pemahaman pada diri sendiri yang kecewa sebab pernikahanku tidak dihadiri Ibu.

"El, ayo keluar!" panggil Mbak Ayu sudah semakin ayu dengan riasan tebal juga kain kebaya yang membalut tubuhnya. Mbak Ayu dan suaminya yang akan menemaniku berjalan menuju singgasana satu malam.

Tunggu, jika dibayangkan pernikahan yang megah lalu tamu undangan yang sangat banyak hingga ribuan. Sangat salah, baik aku dan Cika setuju untuk melangsungkan upacara pernikahan dengan sederhana. Prosesi akad nikah, ala militer, lalu duduk di singgasana pengantin untuk beberapa saat. Memang terkesan menyalahi kebiasaan umum di masyarakat. Tapi kami benar-benar sepakat untuk melakukannya dengan singkat dan hanya dihadiri 500 undangan. Sempat ada perdebatan tentunya, namun bukan aku dengan Cika melainkan kami dengan Ayah juga Papa dan Mama. Dengan jabatan yang mereka punya juga dengan jabatan yang aku punya 500 undangan terlalu sedikit. Tapi ini pernikahanku dan Cika, maka keputusan berakhir di tangan kami.

Sejak seminggu yang lalu aku tidak pernah bertemu dengan Cika. Pesan singkat? Hanya sebatas menanyakan kekurangan persiapan pernikahan. Anak seumur Cika yang kupikir akan merengek perhatian seperti sudah makan atau belum, sedang apa, sedang di mana, dan lain sebagainya ternyata tidak. Benar-benar sekadarnya, seperlunya saja aku maupun ia bertukar pesan. Bisa jadi Cika memang seperti itu, atau bisa jadi kami sama-sama menahan diri sebab apa yang disebut "cinta" itu sama-sama belum kami miliki. Hanya ada perasaan tertarik serta menerima satu sama lain. Cinta akan tumbuh karena terbiasa kan?

"Tegang banget kamu nih!" tegur Mbak Ayu yang berusaha mengalungkan tangannya di lenganku.

"Mau ibadah terpanjang ini, Mbak. Gimana kalau aku salah-salah nanti?"

"Ya nggak apa-apa lah. Salah tinggal diperbaiki!" ketus Mbak Ayu setelah mencubit lenganku.

"Kok seenak itu salah tinggal diperbaiki!" Mengusap-usap bekas cubitan yang panas.

"Loh iya, to? Manusia mana sih yang nggak bikin kesalahan, El? Semua manusia bahkan Nabi Adam pun begitu. Manusia tempatnya salah dan lupa, iya apa iya?"

Menghela napas karena Mbak Ayu memang benar.

"Kalau manusia tempatnya salah dan lupa itu takut salah, ya mati aja lah dia. Ngapain hidup, kan? Nambah-nambahin salah aja dia."

"Astagfirullah mulutnya Ibu Dokter ini ya minta disuntik bius!"

Suami Mbak Ayu hanya terkekeh di samping kiriku.

"Loh iya tapi kan? Sebaik-baiknya manusia itu bukan yang nggak bikin salah, El, tapi yang kalau salah ya minta maaf diperbaiki. Wejangan terakhir nih ya, soalnya setelah ini urusan rumah tanggamu urusanmu!"

"Ya jangan gitu dong, nanti aku tetep minta masukan sama yang berpengalaman!"

"Hadeh, malu sama Cika nanti sudah segede ini, sudah mau jadi imam tetep aja larinya ke Mbak."

Neverland 408Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang