Setelah pertemuan pertama di Warung Mie Ayam itu entah kenapa aku semakin penasaran dengan pemikirannya, sebab bagiku ia masih terlalu muda untuk pemikiran matang itu tentang pernikahan. Sayang sekali setelah pertemuan itu ia langsung kembali ke Yogyakarta untuk menyelesaikan penelitian lalu berangkat ke Solo untuk melanjutkan sisa pendidikannya. Tapi sebenarnya itu lebih baik. Jarak tempat tugasku dan tempat kuliahnya tak jauh. Jika aku mau, 30 sampai 45 menit perjalanan saja bisa bertemu dengannya. Benar, aku tak seberani itu.
Entah angin apa yang membawa kabar baik semalam. Pagi ini aku menerima pesan dari Mbak Ayu untuk menjemput Cika di Stasiun Balapan. Aku tidak tahu dia dari mana, tidak menolak ataupun mencari alasan, aku hanya mengiyakan saking senangnya bisa bertemu dengan Cika lagi. Ada banyak hal yang ingin kudengarnya. Entah, mungkin hanya penasaran dengan sosok Cika.
Mumpung ada sedikit waktu sebelum Apel malam, aku menjemputnya dengan mobil ayah. Ya, aku belum semampu itu untuk membeli mobil meskipun dengan kredit dan gajiku sebagai TNI juga bisa membayar angsuran tapi setelah mendengar ucapan Cika tentang pentingnya ekonomi dalam kehidupan pernikahan membuatku menerima apa yang ada dan masih bisa digunakan. Toh ayah sudah tidak menggunakannya lagi, Mbak Ayu sebagai dokter anak juga sudah mampu membeli mobilnya sendiri.
Menunggu dengan gelisah di halaman parkir Stasiun Balapan. Sampai akhirnya kulihat Cika dengan tas di punggungnya berlari kecil ke arahku. Pemandangan yang menyenangkan hanya dengan melihat langkah kecilnya sampai kebahagiaanku luntur dengan, "Om, sudah lama?"
Menghela napas menatapnya kecewa.
"Ah, maaf. Mas El, iya, Mas." Memasang wajah bersalah.
"Sampai sekarang masih manggil Om, gimana kalau nanti nikah?" gumamku masuk ke dalam mobil sekilas kulihat wajahnya memerah di balik senja.
Cika mengikutiku masuk ke dalam mobil, memasang sabuk pengaman seolah tergesa-gesa. Melihatnya salah tingkah membuatku tersenyum tipis.
Mobil melaju pelan sampai akhirnya berhenti mendadak di pintu keluar halaman stasiun Balapan Solo sebab Cika menanyakan sesuatu yang mengejutkan. "Memangnya kita beneran mau nikah, Mas?"
Aku harus menjawab apa? Harus menjawab iya? Tapi aku sendiri belum benar-benar menerima jarak usianya denganku. Yang lebih banyak kupikirkan bukan bagaimana aku harus mengatur bocah kecil ini sebagai istriku. Aku hanya merasa tak enak, gadis kesayangan Tante Irma yang dunianya masih bebas, yang masih panjang masa depannya harus menikah dengan laki-laki yang jarak usianya jauh darinya. Yang mungkin bisa membuatnya terkurung dalam aturan. Jika kukatakan tidak, tak bisa kupungkiri aku memiliki perasaan yang baik untuknya meski tidak bisa dikatakan cinta sebab bagiku cinta tumbuh bersama waktu.
"Kamu maunya gimana?" tanyaku setelah diam dan terbangun oleh suara klakson dan teguran orang-orang. Aku harus lebih tenang sebagai orang yang lebih dewasa, bukan apa sedikit terbawa suasana. Ah, tapi aku seperti sudah lama tidak terbuai oleh perempuan, mungkin itu kenapa aku mudah terbuai juga.
"Aku, em, aku sebenarnya bingung. Jiwaku masih cukup bebas, ada banyak hal yang ingin aku lakukan, aku ingin pergi ke banyak tempat dan menemui para, ah, para teman-temanku. Kalau jadi istri tentara aku takut seperti dikurung peraturan," jelasnya dalam beberapa kata cukup lirih sebab ragu tapi sifat ceplas-ceplosnya sulit dihentikan.
Itu yang kukhawatirkan dan aku senang Cika mengatakannya.
"Iya, aku belajar dari Mama yang masih bisa menjalankan hobinya meskipun sibuk dengan menjadi istri tentara tapi hobiku cukup unik dan banyak laki-laki tidak menyukainya. Terlebih, aku takut jika hobiku tidak pantas untuk seorang ibu Persit," keluhnya.
"Hobinya apa sih?"
"Kepo!" balasnya mengejek.
"Bukan jadi sugar baby, kan?" selorohku lalu diam takut menyakitinya kerena keterlaluan, temanku banyak yang cukup santai jadi candaan semacam ini acapkali muncul begitu saja. Tapi ini bukan hal yang baik sebab bisa menimbulkan sakit hati yang berkepanjangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Neverland 408
RomanceNeverland, dunia dalam dongeng disney yang menghipnotis banyak penikmatnya. Tokoh PeterPan yang menyukai Wendy, tokoh TinkerBell yang menyukai PeterPan, hingga tokoh Terence yang secara tidak sadar jatuh hati pada TinkerBell. Mereka semua hidup di N...