Luka yang kembali

585 57 11
                                    

Andin menyeret koper sambil menggandeng anak laki-laki disebelahnya. Ia baru saja landing dari Yogyakarta. Andin tak menyangka jika ia akan kembali menginjakkan kaki di kota Jakarta lagi. Sebab, ia telah meninggalkan masa lalunya di kota tersebut.

"Ma, haus...," ucap anak laki-laki tersebut yang memanggil Andin dengan sebutan 'mama'.

Andin menoleh, ia lalu berjongkok dan berkata, "Yaudah, Askara tunggu di sini dulu, ya. Mama belikan minum di dalam," kata Andin sambil mendudukkan Askara dikursi depan minimarket.

Tanpa rasa was-was, Andin meninggalkan Askara masuk ke dalam minimarket tersebut. Hingga tanpa diduga, Askara pergi mengejar sesuatu yang menarik perhatiannya.

Askara terus berjalan mengejar seekor kucing sampai lupa arah. Ia pun kehilangan sang target dan kebingungan. Askara hanya mampu menangis seraya memanggil mamanya.

Tak berselang lama, Andin keluar dan mendapati Askara tidak berada di tempat. Ia pun panik mencari anaknya itu.

"Askara!" teriak Andin memanggil. "Kamu di mana, Nak?" Andin semakin cemas. Seharusnya, ia tak meninggalkan Askara sendirian.

"Mbak, lihat anak saya nggak? Tingginya segini," tanya Andin kepada orang-orang yang lewat.

"Nggak lihat," balas orang tersebut.

Andin semakin frustasi. Ia merasa bersalah karena meninggalkan Askara sendirian.

***

"Mama," ucap Askara sambil menangis. Ia bingung harus ke mana sekarang. Askara mencoba mencari bala bantuan, hingga ia menemukan seseorang yang sepertinya terlihat baik.

"Om, Askara boleh ikut?" tanya Askara dengan polosnya.

Lelaki tersebut berhenti dan menoleh. "Kamu siapa?" tanyanya dingin.

"Askara tersesat, Om, mau ketemu mama."

"Maaf, Pak, apa saya perlu bawa anak ini ke kantor polisi?" tanya asisten lelaki tersebut.

"Nggak usah, Ren. Biarin dia ikut kita," jawab Aldebaran.

"Tapi Pak...."

Askara tiba-tiba langsung masuk ke dalam mobil disusul Aldebaran. Walau dengan raut wajah yang jutek, Aldebaran merasa kasihan dengan anak tersebut.

"Ayo, Om, kita jalan," seru Askara dengan semangat.

Rendi hanya menurut dan melajukan mobilnya menuju kantor. Diperjalanan, Aldebaran berusaha mencari informasi tentang orang tua Askara.

"Nama kamu Askara?" tanya Aldebaran.

Askara mengangguk, lalu ia memberikan sebuah gantungan kunci yang bertengger di tasnya.

Aldebaran mengambil gantungan kunci tersebut dan membaca tulisan yang tertera di sana.

'jika Askara tersesat, tolong hubungi saya di nomor ini. Terima kasih. Andin."

Aldebaran meremas gantungan kunci tersebut. Seketika ia tak banyak bicara dan membiarkan Askara mengoceh sendiri.

Sesampainya di kantor, Aldebaran menyuruh Rendi menghubungi nomor yang tertera di gantungan kunci tersebut. Al juga  ingin memastikan sesuatu, hal yang amat paling ia benci selama ini.

***

Andin berlari dengan tergesa memasuki sebuah gedung perkantoran. Ia mencari tempat receptions berada.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya penjaga receptions.

Belum sempat Andin menjawab, Rendi sudah menghampirinya. "Bu Andin, ya?" tanya Rendi memastikan.

Andin mengangguk. "Di mana Askara?"

"Mari ikut saya." Rendi lalu mengarahkan Andin untuk menemui anaknya. Sesampainya di ruangan Aldebaran, Andin melihat Askara yang tengah asyik bermain sendiri.

"Askara!" seru Andin yang langsung memeluk anaknya. "Kamu ke mana aja, sih? Mama kan, udah bilang jangan kemana-mana," ucap Andin khawatir.

"Maaf, ya, Ma..., tadi Askara lihat kucing," balas Askara.

"Ekhem." Seseorang berdeham mengalihkan perhatian Andin. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati siapa yang berada di hadapannya itu.

"Jadi dia anak kamu?" tanya Aldebaran tanpa basa-basi.

"Iya," jawab Andin singkat.

"Ma, tadi om ayah ini yang udah nolongin Askara," kata Askara.

"Om ayah?" Andin mengernyitkan dahi.

"Iya..., Om ini mukanya kayak ayah Askara."

Aldebaran mulai dilanda rasa penasaran. Ia sebenarnya ingin sekali menanyakan, tapi gengsi.

"Jangan samakan saya dengan ayah kamu," ujar Aldebaran ketus.

Askara cemberut mendapati respon Aldebaran. Menyadari perubahan ekspresi anaknya, Andin segera membawa Askara keluar dari kantor tersebut.

"Sekali lagi terima kasih karena udah menemukan Askara. Kami permisi." Andin menggandeng Askara keluar ruangan Aldebaran diantar Rendi. Pikiran kedua insan itu sama-sama kalut. Aldebaran dengan rasa penasarannya, dan Andin dengan rasa bersalahnya.

"Bu Andin mau saya antar?" tawar Rendi memberi tumpangan.

"Nggak usah, Pak, saya udah minta dijemput."

"Baiklah kalau begitu, saya permisi." Rendi meninggalkan Andin dan Askara di lobi.

Tak berselang lama, sebuah mobil Fortuner putih terparkir di depan pintu masuk, menampilkan seorang lelaki berjaket.

"Halo, Jagoan!" lelaki tersebut segera menggendong Askara.

"Papa," balas Askara dengan antusias.

"Udah siap pulang?"

Andin mengangguk. Lelaki tersebut lalu membukakan pintu untuk Andin dan menaruh Askara dikursi belakang.

Dari lantai atas, Aldebaran sejak tadi mengamati Andin. Ia berasumsi lelaki tersebut suami Andin.

"Berani sekali kamu kembali, Ndin...," gumam Aldebaran.

***

"Jadi kantor tadi milik Aldebaran?" tanya Sal—lelaki yang selama 5 tahun membantu Andin. Sal adalah sepupu jauh Andin. Ia adalah penerus salah satu hotel ternama di Jakarta, tetapi Sal lebih memilih bergelud dengan cafenya.

Andin membaringkan Askara disofa dan mengangguk.

"Gimana reaksi dia pertama kali ketemu kamu setelah sekian lama?"

"Dingin," jawab Andin singkat. Tersirat jika ia malas membahas masalah ini. Tujuannya kembali ke Jakarta bukan untuk membongkar masa lalu yang telah usang.

Mendengar jawaban Andin yang begitu membuat Sal mengurungkan niatnya lagi untuk bertanya. Ia lalu menyiapkan makan malam untuk Andin dan Askara.

Selesai memasak, ia menata makanan di meja. Terdengar celotehan Askara yang sudah terbangun dari tidurnya.

"Kamu nggak harus repot-repot bikin makan malam, Sal," ucap Andin menghampiri Sal yang masih sibuk mencuci bekas alat masaknya.

"Aku nggak akan biarin kalian berdua kelaparan."

"Yeay! Makan...!" seru Askara.

Andin kemudian menyiapkan makanan untuk Askara. Bocah lelaki itu makan dengan lahapnya.

"Yaudah, aku pamit dulu, ya..., masih ada yang harus diurus di cafe."

"Papa nggak mau makan malam bareng Askara?" tanya Askara sambil mulutnya penuh dengan makanan.

"Besok papa ke sini lagi, ya...." Sal mengelus kepala Askara lembut.

"Makasih, ya, Sal," ucap Andin.

"It's okay, Ndin. Kapan pun kamu butuh bantuan bisa hubungi aku. Besok aku kabarin lagi soal jadwal dokter Ridwan."

Andin mengangguk lalu mengantar Sal sampai ke depan pintu. Ia sangat beruntung punya Sal disisinya. Lelaki itu sungguh baik melebihi apa yang ia duga. Bahkan Sal rela ikut merawat Askara disaat dia harus menentukan masa depannya.

BertautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang