Andin menatap Kilauan lampu dari balkon kamar. Pikirannya kembali berkelana. Ia terus menghela napas kasar tiap kali memikirkan berbagai macam kemungkinan yang terjadi.
"Ndin," panggil Sal yang kembali menyadarkan Andin dari lamunannya.
"Kamu pasti mikirin soal Aldebaran tadi, ya?" tanya Sal. Ia juga merasa bersalah karena sudah meninggalkan Askara seorang diri tanpa pengawasan.
"Nggak, kok, aku cuma khawatir aja kalau Askara ngomong sesuatu tadi."
"Nggak ada yang perlu kamu khawatirin." Sal menepuk pundak Andin pelan. "Kamu cuma perlu khawatir dengan kesehatan Askara, yang lain nggak perlu."
Andin tersenyum. Perkataan Sal ada benarnya juga. Daripada ia berlarut dengan berbagai dugaan yang belum jelas, lebih baik dia memikirkan kesehatan Askara, bagaimana bocah itu mendapatkan pengobatan yang terbaik, lalu ia bisa kembali hidup tenang tanpa bayang-bayang rasa bersalah terhadap seseorang.
Braaaak!
Andin dan Sal terkejut ketika mendengar benda jatuh. Mereka lalu segera mencari sumber suara. Betapa terkejutnya Andin ketika mengetahui Askara sudah tergeletak dengan dahi berdarah. Kemungkinan saat Askara jatuh, kepalanya membentur meja."Askara!" seru Andin panik. "Sayang, bangun. Kamu dengar mama, 'kan?" Andin menggoyangkan tubuh Askara, berharap mendapat respon dari anak itu.
"Kita bawa Askara ke rumah sakit." Sal langsung membopong tubuh Askara. Ia sama paniknya dengan Andin.
Di perjalanan, Andin terus memanggil Askara. Rasa bersalah kian menampar dirinya.
Sesampainya di rumah sakit Sal segera meminta pertolongan. Askara langsung dipindahkan ke IGD. Andin tampak mondar-mandir menunggu kepastian kondisi Askara. Ia tak henti-hentinya memandang pintu kaca di depannya, berharap dokter segera keluar.
"Ndin, duduk dulu," ucap Sal. Ia tak tega melihat Andin yang penampilannya sudah tak karuan sedang mencemaskan kondisi Askara.
Andin pun duduk. Sal lalu pergi sebentar dan kembali membawa minuman.
"Di minum dulu, Ndin. Tenangin pikiran kamu."
Andin menerima minuman dari Sal dan menghela napas kasar. Sejenak ia terdiam dan berusaha untuk mengontrol dirinya. "Makasih, Sal," ucapnya.
Tak berselang lama, seorang dokter muncul dan menanyakan keluarga pasien.
"Bagaimana kondisi pasien, Dok?" tanya Andin begitu mendengar pintu terbuka.
"Begini, Bu, akibat benturan di kepala pasien, ia membutuhkan transfusi darah segera. Kita juga harus melakukan tindakan operasi untuk menghentikan pendarahannya. Namun, mengingat pasien memiliki riwayat sakit, ada beberapa kemungkinan yang perlu dipertimbangkan," jelas dokter.
Andin yang mendengarnya pun seketika lemas. Sal mencoba menguatkannya.
"Lalu, apa yang terbaik untuk anak saya, Dok?"
"Untuk saat ini, kita perlu menghentikan pendarahannya terlebih dahulu. Namun, stok darah di rumah sakit ini tidak ada yang cocok dengan pasien."
Andin menggigit bibir bawahnya. Ia takut. Pasalnya, golongan darah Askara tidak cocok dengan dirinya.
"Kami akan mencoba mencari transfusi darah secepatnya, Dok," ucap Sal. Ia tahu Andin sedang bimbang sekarang.
"Baik, kabari pihak rumah sakit secepatnya. Kita tidak bisa menunggu lebih dari dua puluh empat jam."
Sal lalu menginfokan kepada rekan-rekannya perihal membutuhkan donor darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertaut
FanfictionAldebaran Andin seolah tak menyangka dipertemukan kembali setelah sekian lama. Perasaan itu masih ada, tapi tertutup oleh rasa kecewa yang membara. Akankah penantian itu menggabungkan lagi kisah yang sempat terjeda? Atau malah semakin mengobarkan ap...