Ruang Masa Lalu

294 41 9
                                    

Andin menunggu Aldebaran dengan gelisah. Sudah hampir dua jam ia menunggu di cafe, tapi ia tak melihat tanda-tanda Aldebaran datang. Berulang kali ia menghubungi lelaki itu, tapi nihil. Andin semakin cemas. Ia lalu memutuskan untuk pergi ke rumah Aldebaran.

Sesampainya di rumah Al, Andin disambut oleh Uya, satpam rumah Aldebaran.

"Eh, Mba Andin..., ada perlu apa, ya?" tanya Uya dari balik pagar.

"Aldebaran ada?"

Uya terdiam sejenak. Ia ragu untuk memberitahu Andin, tapi perempuan dihadapannya ini juga berhak tahu. Setelah mempertimbangkannya, Uya akhirnya bicara.

"Begini, Mba...." Uya masih tampak ragu.

"Ada apa, sih?"

" Mas Al udah pergi sejak sore tadi."

"Pergi? Pergi ke mana?"

"Kalau itu saya kurang tahu, tapi yang saya lihat mas Al pergi sama Bu Rosa juga sore tadi."

Andin tertegun dengan apa yang disampaikan Uya. Ia bahkan hampir tak menyangka jika Aldebaran pergi tanpa mengabari dirinya. Lalu, apa arti hubungan mereka selama ini?

Saat Andin hendak pergi, ia melihat Elsa keluar dari rumah Aldebaran membawa sebuah koper. Ia pun mengurungkan niatnya. Elsa yang melihat kehadiran Andin pun menghampiri perempuan itu.

"Ngapain Mba Andin di sini?" tanya Elsa.

"Aku mau cari Aldebaran," jawab Andin.

Elsa sedikit tersenyum sinis. Ia lalu berkata, "Al lagi pergi ke luar negeri dan dia akan menetap di sana."

"Maksud kamu?"

"Mba, perusahaan orangtua Al lagi ada masalah. Jadi aku harap Mba Andin nggak usah ganggu Aldebaran lagi."

Andin ingin memaki Elsa, tapi ia tak bisa melakukannya. Ini juga demi Aldebaran. Apalagi keluarga Elsa yang juga sangat berpengaruh bagi keluarga Aldebaran. Pikir Andin, mungkin memang benar Elsa bisa membantu Al jika ia tak lagi mendekati lelaki tersebut.

Akhirnya, Andin dan Elsa membuat kesepakatan. Andin tak akan lagi menghubungi Aldebaran jika itu mengganggu lelaki tersebut. Dan Elsa, ia akan membantu Al kembali menstabilkan perusahaan keluarganya.

***

"Ngapain Mba Andin di sini?" tanya Elsa sinis.

Andin menghela napas kasar. Diantara ribuan penghuni bumi, kenapa ia harus dipertemukan kembali Dengan Elsa?

"Aku tanya, ngapain Mba Andin ada di Jakarta?" tanya Elsa lagi dengan penuh penekanan.

"Bukan urusan kamu." Andin lalu hendak meninggalkan Elsa, tapi tangannya ditahan oleh perempuan tersebut.

"Mba Andin nggak berhak balik lagi ke sini." Elsa mencengkeram tangan Andin.

"Sa, sakit," runtuh Andin. Namun Elsa tak hiraukan. Ia sudah terlanjur kalut melihat kehadiran Andin kembali dalam hidupnya.

"Lepas!" Andin melepaskan genggaman tangan Elsa. "Kedatangan aku di sini nggak ada hubungannya sama kamu, jadi stop pertanyaan kamu. Anggap aja kita orang asing yang nggak kenal." Andin lalu meninggalka. Elsa yang masih tersulut amarah.

Bagi Elsa, kehadiran Andin adalah ancaman baginya. Ia tak akan bisa tenang jika melihat perempuan itu berada disekitar Aldebaran. Apalagi Andin sudah menginjakkan kakinya di kantor Al, itu berarti ada kemungkinan jika ia akan kembali bertemu dengan Aldebaran.

Elsa masuk ke ruangan Aldebaran tanpa permisi, membuat sang empunya ruangan sedikit geram.

"Bisa nggak kalau masuk ketuk pintu dulu?" titah Aldebaran.

"Aku tadi ketemu sama mba Andin di bawah. Ngapain dia di sini?" tanya Elsa tanpa basa-basi.

Aldebaran bungkam, enggan menjawab pertanyaan Elsa.

"Al, aku tanya sama kamu."

"Saya nggak tahu."

"Nggak mungkin kamu nggak tahu, atau jangan-jangan..., kamu yang suruh mba Andin ke sini?"

"Kalau kamu nggak ada kepentingan, silakan keluar," perintah Aldebaran.

Elsa menghampiri Aldebaran. "Kamu nggak CLBK lagi sama dia, kan?"

Aldebaran menatap Elsa dengan tak suka. "Bisa diem, nggak?"

"Oke! Aku anggap kamu emang nggak tahu apa-apa soal kedatangan mba Andin ke kantor, tapi aku nggak akan biarin kalau kamu balikan lagi sama dia." Elsa lalu keluar dari ruangan Aldebaran. Mendengar perkataan Elsa soal Andin, Al jadi penasaran kenapa perempuan itu ada di kantornya

Aldebaran lalu menghubungi salah satu staffnya. Ia ingin menanyakan kenapa Andin bisa ada di kantornya.

***

Andin duduk dengan pandangan kosong. Pikirannya berkecamuk seolah kembali terputar kisah masa lalu yang ingin ia lupakan. Bertemu Aldebaran membuat perasaannya sedikit lega melihat lelaki itu terlihat hidup dengan baik. Namun satu sisi, ia juga tak mengerti kenapa lelaki itu seolah begitu membencinya.

Sal datang sambil menyodorkan minuman kaleng di hadapan Andin. "Dicariin anaknya malah ngelamun di sini," ucap Sal.

Andin menghela napas perlahan. "Makasih," katanya menerima minuman dari Sal.

"Mikirin apa, sih, Ndin? Kelihatannya berat banget." Sal membuka kaleng minumannya.

"Nggak mikirin apa-apa," balas Andin.

"Masih soal Aldebaran?"

"Apa, sih, Sal...."

"Kayaknya hubungan kalian perlu diluruskan, deh."

Andin mengernyitkan dahi. "Apanya yang harus diluruskan? Nggak ada, Sal."

Sal mengedikkan bahunya. "Ya, mungkin soal...."

"Sal!" Andin segera memotong perkataan Sal. Ia tahu apa yang ingin Sal maksudkan.

Andin tak ingin menambah masalah. Ia hanya ingin hidup tenang bersama Askara tanpa beban. Ia tak ingin membuat masalah dengan siapa pun. Baginya, hidup berdua dengan Askara sudah cukup jadi kebahagiaannya. Namun, kini kebahagiaan itu seola terusik oleh masa lalunya. Andin tak ingin menyeret Askara dan tak akan pernah membiarkan hal tersebut terjadi.


Andin lalu pergi ke ruang rawat Askara. Anak kecil itu sudah menunggunya sedari tadi.

"Mama dari mana?" tanya Askara begitu melihat Andin dari balik pintu.

"Anak mama kok, belum tidur?" Andin duduk ditepi tempat tidur.

"Mau ditemenin Mama."

Andin lalu memeluk Askara sambil menahan air matanya. Melihat tatapan Askara yang begitu polos membuat pertahanannya sedikit goyah.

"Mama akan selalu berusaha demi kesembuhan dan kebahagiaan kamu, Nak," gumam Andin dalam hati.

Setelah menidurkan Askara dengan membacakan dongeng, Andin membenarkan selimutnya. Ia lalu mengecek notifikasi di ponselnya.


"...Selamat, Anda lolos seleksi interview diperusahaan kami. Silakan datang besok pagi dengan mengisi link dibawah ini...."

Andin tersenyum ketika mendapat pesan dari salah satu perusahaan tempatnya melamar pekerjaan. Namun, ia ingat kembali milik siapa perusahaan tersebut. Andin ingin menolak, tapi ia butuh pekerjaan ini. Andin menghela napas, ia bertekad untuk tetap melanjutkan pekerjaannya dan mengesampingkan siapa nanti atasannya.

BertautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang