34 - Perdana

198 50 4
                                    

.

.

Itu tangan atau kulkas?

.

.

***

"Saudari penasehat hukum keluarga korban, silakan jika ada pertanyaan untuk saksi."

Raesha masih duduk di kursi pemeriksaan. Matanya mulai mengering, setelah sebelumnya emosional saat menjawab pertanyaan majelis hakim dan jaksa penuntut umum. Beberapa pertanyaan, mengingatkannya akan momen terakhir sebelum Ilyasa wafat.

Elena menyalakan mikrofon. "Saudari saksi, pada pukul berapa saudara saksi tiba di rumah sakit, setelah mendapat kabar bahwa korban ada di rumah sakit?"

"Siang jam ... maaf saya tidak ingat persisnya.

"Saudari saksi berangkat sendiri ke rumah sakit?"

"Tidak. Saya berangkat berdua dengan Mia, Ustadzah yang mengajar di madrasah milik almarhum suami saya.  Mia yang memberitahu saya kalau Ilyasa di rumah sakit."

"Saat itu saudari saksi sudah diberitahu bahwa korban sudah meninggal dunia?"

Raesha menggeleng. "Tidak. Mia cuma bilang, ada kru studio TV yang telepon ke madrasah, mengabari kalau Ilyasa sakit dan dibawa ke rumah sakit."

"Kru TV tidak menelepon ke hape saudari saksi?"

"Mereka telepon berkali-kali. Tapi saat itu saya sedang tidur setelah lelah mengajar. Karena saya sulit dihubungi, mereka menelepon madrasah."

"Baik. Saudari saksi tiba di rumah sakit tanpa tahu bahwa korban sudah meninggal dunia. Lalu saudari saksi akhirnya tahu bahwa korban sudah meninggal dunia, dari siapa?"

"Mia akhirnya memberitahu saya, setelah kami tiba di rumah sakit."

"Saudara saksi kemudian melihat jasad korban?"

"Iya. Karena, saya tidak percaya awalnya. Untuk memastikan bahwa berita itu benar, kami pergi ke ruang jenazah. Di luar ruang jenazah, ada dua orang kru TV yang menunggu kedatangan kami. Mereka mengucapkan belasungkawa pada saya. Lalu saya dipersilakan masuk ke ruang jenazah dan -- "

Air mata Raesha menitik lagi. Elena sengaja mengambil jeda.

"Ternyata jasad itu benar Ilyasa. Mukanya terlihat pucat. Lebih putih dari biasanya. Maka saya menjadi yakin bahwa Ilyasa benar sudah wafat," lanjut Raesha sebelum menyeka air matanya dan berusaha tegar. Ia tidak ingin menangis tersedu-sedu di ruang pengadilan. Ditonton seluruh hadirin bukan hanya di ruang pengadilan melainkan juga di seluruh layar televisi keluarga-keluarga di Indonesia.

"Siapa yang memberikan informasi kepada saudara saksi, mengenai penyebab kematian korban?" Elena lanjut bertanya.

"Yang pertama kali menjelaskan, adalah Mia. Kemudian kru TV yang turut mengantar Ilyasa ke rumah sakit, juga menjelaskan hal yang sama. Mereka bilang, seseorang telah menyusup ke lokasi syuting acara dakwah, lalu orang itu memberikan minuman es jeruk pada Ilyasa. Ilyasa lalu muntah sebelum pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Ilyasa dinyatakan meninggal dunia begitu tiba di rumah sakit, katanya."

"Saudari saksi sempat bicara pada dokter di rumah sakit?"

"Tidak. Saya pingsan sesaat setelah melihat jasad almarhum suami saya. Baru terbangun malam harinya di UGD. Saat itu, saya mendengar bahwa almarhum suami saya sedang diautopsi. Adik saya, Adli, yang telah menandatangani surat autopsi dari kepolisian."

Muka Adli meringis. Teringat kejadian autopsi Ilyasa yang sempat membuatnya syok karena melihat ada bekas jahitan melintang di bagian kepala, dan bekas jahitan yang mengerikan berbentuk huruf Y di tubuh  Ilyasa. Adli juga sempat marah pada petugas ambulans yang membawa Ilyasa dari rumah sakit. Padahal petugas itu sebenarnya tidak tahu menahu. Intinya, Adli menyesal mengizinkan autopsi itu. Tapi semua sudah terjadi.

ANXI EXTENDED 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang