Setelah kejadian hari itu, hasya bisa merasakan sebuah perubahan pada haksa. Dia memang masih berkata kasar dan suka berbuat seenaknya terkadang. Tapi haksa yang sekarang rasanya lebih…penurut.Ketika hasya mengajaknya untuk makan bersama, haksa tidak lagi bertele-tele, dia akan langsung turun ke ruang makan. Ketika hasya menyuruhnya tidur pukul 10, maka dia akan benar-benar tidur sesuai titahan hasya. Haksa mulai berubah, dan hasya senang karena hal itu.
Malam ini, hasya mengajak adiknya itu untuk jalan-jalan ke pasar malam terdekat dari rumah mereka. Hasya baru sadar, setelah 1 setengah bulan lebih dia tinggal di Jakarta dia tak pernah sekalipun jalan-jalan atau sekedar mengukur jalan disini.
Jakarta adalah kota yang sangat ingin hasya datangi. Dulu, di kota asalnya, dia hanya mendengar bagaimana suasana dan isi Jakarta dari tetangganya yang suka terbang kesana-kemari dengan pesawat. Dan kali ini, akhirnya hasya bisa merasakannya sendiri tanpa mendengar dari mulut orang lain.
“heh, boncel! Kok lo ngelamun? Ayo cepat, nanti tempatnya keburu rame.”
Hasya merasakan sebuah guncangan pelan di bahunya, ia menoleh kesamping dan mendongakkan kepalanya. Haksa sudah siap dengan pakaian rapinya.Hasya mengernyitkan alisnya, “kita kan mau ke pasar malam, kamu ngapain pakai jaket gituan?” tanya nya begitu jaket kulit berwarna hitam milik haksa melekat sempurna di tubuhnya.
Haksa berdecak, “biarpun jalan ke pasar, gue ini tetap harus cakep. Dari pada lo, kaosan doang.” Cibirnya melihat pakaian kakaknya yang terlihat sangat simple itu.
Hasya merucutkan bibirnya, "enak tau jalan pakai baju gini."
Haksa mengiyakan cepat, "Iya dah, iya. Ayo cepet, mobilnya udah gue panasin."
"Okey captain~"
•••
Keduanya memasuki area pasar malam begitu mobil haksa sudah terparkir rapi. Tempat itu cukup ramai, tapi tidak membuat mereka kesesakkan.
Banyak stand makanan dan wahana di pasar ini, membuat hasya bingung harus memilih yang mana dulu untuk dia cobai.
"Kenapa diem aja?" Tanya haksa melihat sang kakak yang menatap bingung ke arah keramaian pasar.
Hasya menjawab pelan, "Bingung mau mulai dari mana..."
"Oh, gampang itu mah. Kalau pasar di sini, yang pertama kali harus lo coba itu donat lumernya. Gue nyaranin lo beli yang rasa vanilla, itu best seller disini." Jelas haksa sambil menarik tangan kanan hasya untuk berjalan mengikutinya.
Diam-diam, hasya tersenyum melihat kedua tangan mereka yang saling terkait itu.
Mereka berjalan cukup jauh dari tempat di awal tadi. Haksa akan sesekali menyapa beberapa pedagang di sana dengan akrab, bahkan di tawarkan makanan-makanan di sana secara cuma-cuma alias gratis. Sepertinya haksa sudah kenal dengan orang-orang disini, pikirnya.
Setelah berjalan lama, akhirnya mereka tiba di stand makanan yang haksa maksud.
"Ey, mang kiki. Donat lumer rasa vanillanya masih ada gak?" Haksa menyapa akrab penjual donat yang bernama kiki itu.
"Eh, haksa? Lama amat kagak kesini. Ada, masih banyak nih. Mau pesan berapa?" Tanya mang kiki ramah.
"1 porsi ya, mang. Donatnya jangan terlalu kering, kalau bisa agak basah dikit."
Mang kiki bertanya heran, "loh, tumben. Biasanya kamu suka yang kering."
Haksa tertawa, "bukan saya yang mau makan, tapi dia." Ucapnya sambil menunjuk hasya yang diam saja dari tadi.
"Eh, saya baru liat dia. Kok mukanya mirip sama kamu, sa?" Mang kiki mendekatkan wajahnya kepada hasya, membuat hasya agak memundurkan langkahnya dan bersembunyi di balik lengan haksa.
"Dia kembaran saya, mang."
"Owalah, gitu toh. Lucu ya, beda sama kamu yang kayak preman."
"Maksudnya!?"
"Hahaha, enggak. Bercanda kok. Ya udah, amang siapin dulu ya donatnya. Duduk aja dulu."
"Iyo, kami tunggu ya mang. Jangan lama."
"Siap! Aman itu."
Ternyata, haksa adalah orang yang mudah bergaul dengan orang lain. Hasya baru mengetahui hal ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello My Bro!
Fanfictionhaksa lupa, kapan terakhir kali ia merasa terkejut luar biasa seperti saat ini. ini hari minggu, cuaca di luar sangat cerah dan terik. ia baru saja terbangun dari tidurnya, dan sudah mendapatkan kejutan luar biasa dari sang ayah. "the fuck? who the...