Part 2 : Aaron

1.3K 90 1
                                    

'Bawakan Ibu roti paling enak, Ibu udah hampir sampai!'

Pesan Ibuku sudah pasti bikin aku kaget di pagiku yang tenang. Sudah 10 tahun sejak ia memutuskan buat pindah ke Dubai dengan suami barunya, dan aku melanjutkan pendidikan dan perusahaanku sendirian di Indonesia.

Ini pertama kalinya aku bertemu dengan Ibuku sejak 10 tahun kami berpisah. Paling nggak secara langsung. Selama 10 tahun kami rutin melakukan video call untuk memastikan kami nggak melupakan rupa satu sama lain.

Aku sudah bertanya apa alasan ia berkunjung ke Jakarta, dan menemuiku bukanlah alasan utamanya. Ia mendapat kabar bahwa sahabat terbaiknya sedang terbaring lemah di rumah sakit, dan ia merasa bertanggung jawab untuk menjenguknya.

Sudah beribu-ribu kali Ibuku memintaku untuk mengunjunginya di Dubai saat mengetahui bahwa aku salah satu Billionaire termuda di Jakarta. Yang maksudnya, ia tahu aku mampu melakukan perjalanan ke Dubai.

Tapi aku menolak. Aku belum siap bertemu dengan suami barunya. Aku mengerti jika ia ingin melanjutkan hidupnya dengan orang baru. Aku tidak menentangnya.

Dan sesuai permintaannya, aku mencarikannya roti sebelum pergi ke bandara.

Hann's Bread.

Aku tidak pernah kesana sebelumnya. Tetapi semua toko roti di Jakarta tempatku biasa membeli roti untuk sarapan masih tutup dan hanya tempat itu yang sudah terbuka.

Aroma roti yang membuat siapapun menjadi kecanduan begitu melesak masuk ke dalam toko roti itu membuatku merasa nyaman untuk mencari roti.

Tetapi kehadiran wanita yang rambutnya ditutupi oleh pashmina—kalau aku tidak salah, matanya yang besar, dan senyumnya yang ramah membuatku sedikit... kebingungan.

Sophie. Namanya Sophie. Tentu kalau aku tidak salah ingat dan tidak salah dengar saat temannya yang harusnya berdiri di balik meja kasir memanggilnya.

Aku mengambil semua roti yang diromendasikannya. Dan jujur saja aku cukup terkejut saat ia menanyakan namaku, tetapi setelah ia menjelaskan alasannya aku baru berpikir bahwa itu masuk akal.

Dari yang kulihat, dia adalah wanita yang ramah dan terlihat mudah membuat pertemanan dengan orang lain. Aku tidak melihatnya sebagai wanita yang sulit di dekati.

Tidak ada sehelai rambut yang keluar dari pashmina nya. Lengannya tertutup rapat sehingga tidak terlihat sedikitpun kulitnya.

Aku segera meninggalkan toko roti itu saat dirinya meneriakkan sesuatu—tanpa terima kasih mungkin. Tetapi tidak ada yang bisa kukatakan, jadi aku hanya berjalan keluar tanpa ekspresi dan balasan apapun.

Seorang wanita berumur sekitar 55 tahun berjalan dengan mengenakan abaya hitam dan hijab yang menutupi hampir seluruh tubuh bagian atasnya. Aku menyambut Natasya—Ibuku dengan senyuman sambil mengangkat paper bag berisi roti pesanannya.

Alih-alih mengambil paper bag itu, Natasya memilih merentangkan tangannya dan memeluk tubuhku yang ukurannya lebih besar daripada tubuhnya sendiri.

"Mama kangen sama kamu, bocah nakal. Apa kabar?" Akhirnya ia menanyakan kabar dari anak sulungnya.

"Engga seburuk yang aku kira." Ya, kupikir Natasya akan datang bersama suaminya, rupanya dia sendirian. Aku bernapas lega.

Natasya memukul lenganku. "Maksud kamu apa? Kamu pikir suasananya bakalan buruk kalau ketemu sama Mama?"

"Mama, kita engga pernah ketemu selama 10 tahun, apa yang Ibu harapin?"

Kesalahan.

Raut wajahnya berubah tegang diikuti raut sedih mendengar ucapanku. Ya, ucapanku mungkin akan membuatnya merasa seperti ibu yang gagal membesarkan seorang anak.

Aku segera mengubah alur pembicaraan.

"Ini," kataku. "Aku beli pas mereka baru selesai dipanggang."

Wajahnya kembali segar. Berhasil.

Natasya mengambil paper bag itu sebelum akhirnya memilih 1 roti untuk di makan di dalam mobil.

"Jadi... apa rencana pertamanya?" tanyaku sambil menjalankan mobil keluar dari area bandara.

"Ke rumah sakit, Ibu datang jauh-jauh dari Dubai bukan cuma buat makan roti yang kami beli."

Aku tersenyum kecil mendengar cerutuannya.

Benar. Kami harus ke rumah sakit. Mengunjungi sahabatnya yang sedang berperang melawan penyakitnya.

Aku bahkan tidak tahu Ibuku memiliki sahabat selama ia tinggal dan besar di Jakarta.

BETWEEN LIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang