Part 12: Sophie

960 58 7
                                    

❀✿❀
𝐣𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐛𝐮𝐚𝐭
𝐯𝐨𝐭𝐞 ໒꒱ ‧₊˚
&
𝐜𝐨𝐦𝐦𝐞𝐧𝐭
˚· ͟͟͞͞➳❥ ┊͙ ˘͈ᵕ˘͈ ྀ࿐ ˊˎ-






Tujuan utama aku saat berusaha menyelesaikan semua pekerjaan aku lebih awal adalah agar aku bisa memiliki lebih banyak waktu untuk menemani Ibuku berjalan-jalan. Tentu aku tidak mau Ibuku menghabiskan lebih banyak waktunya di apartemen dibandingkan di luar. Aku sengaja membuat janji untuk ikut kelas membuat tembikar, membuat janji pada restoran mahal untuk makan siang, dan pergi ke Pantai untuk menikmati sunset. Beruntung Aaron bersedia meminjamkan aku satu mobil miliknya untuk aku gunakan berkeliling dengan Ibuku.

Saat di Pantai aku menggelar tikar di atas pasir kemudian duduk bersama Ibuku ditemani dengan suara desiran ombak yang tenang, langit yang mulai berwarna orange akibat matahari yang sebentar lagi akan terbenam, tidak lupa soft cookies buatanku dan soda susu buatan Ibuku juga menemani kami saat menikmati sunset.

"Tau nggak ma? Kemarin aku sama kak Aaron ketemu," ucapku setelah menelan cookies kedua yang aku makan.

Ibuku menoleh dan memberikan perhatiannya sepenuhnya padaku. "Oh ya? Kalian omongin apa?"

"Ngomongin soal mama yang udah nggak mau di rawat di rumah sakit lagi, sekalian bicarain soal permintaan mama sama tante Natasya yang mau aku sama kak Aaron saling kenal lebih dalam satu sama lain." Mendengar ucapanku mengenai permintaan Ibuku dan tante Natasya, terlihat sangat jelas ekspresi Ibuku yang sangat bersemangat mendengar kelanjutannya.

"Ya? Terus? Gimana? Aaron mau?"

Dengan ragu aku mengangguk kecil. "Menurut mama, kak Aaron itu orangnya gimana?"

Ibuku berpikir sebentar sebelum menjawab pertanyaanku. "Yang penting menurut mama Aaron itu bertanggung jawab, Allah dia sayang, mamanya dia sayang, apalagi istrinya, 'kan?"

"Aku cuma mau kenal lebih dalam aja ma, bukan mau nikah sama kak Aaron," ralatku cepat.

"Loh, kamu nanya ke mama, jadi mama jawab aja sesuka mama, emangnya salah?" balas Ibuku diikuti dengan senyum di wajahnya. Aku sendiri menggeram kecil karena tidak bisa memberi pembelaan pada diriku sendiri. "Jadi gimana? Kamu mau kan kenalan sama Aaron? Inget ya, mama tuh nggak pernah minta kamu kenalan sama anak temen mama, tapi nggak tahu kalau Aaron ini tuh beda."

"Beda apanya, orang dia juga manusia," gumamku yang ternyata terdengar oleh Ibuku.

Sebenarnya mengenai hal ini, aku juga sudah menanyakan pendapatan para teman-teman aku, Hannah dan Layla. Mereka berdua sepakat bahwa tujuan aku mengenal Aaron lebih dalam hanya sekedar mengenal biasa. Namun Hannah tetap berpikir bahwa ada kemungkinan kedua Ibu kami berniat untuk menjodohkan aku dan Aaron secara tidak langsung.

"Kamu itu sudah terlalu lama sendiri, jadi mau kenalan sama cowok aja bawaannya jadi susah gini, jadi berat gini."

Benar lagi.

Aku memang sejak dulu tidak pernah tertarik untuk menjalin hubungan dengan laki-laki. Saat aku masih sekolah dan kuliah, aku berpikir bahwa hal tersebut hanya buang-buang waktu dan tidak memberi aku manfaat apa-apa. Sedangkan saat mulai bekerja, aku menjadi lebih jatuh cinta pada pekerjaan aku dibanding untuk mulai membuka hati.

Di umur yang sudah matang ini, aku mulai berpikir bahwa saat ini sudah bukan saatnya aku berpacaran dengan banyak laki-laki dan memilih diantara mereka siapa yang cocok untuk dijadikan sebagai suami. Saat ini sudah saatnya aku mulai berpikir dewasa dan berhati-hati hingga aku tidak perlu berpacaran sebelum akhirnya memutuskan menikah.

Aku ingin menikah.

Tapi aku terlalu malas untuk mengenal laki-laki.

"Menurut mama nih ya," Ibu aku kembali bersuara. "Kalau kamu ngerasa cocok sama Aaron, yaudah lanjut aja. Kalau nggak, yaudah, bilang ke dia kalau kamu nyamannya sama dia sebagai teman atau kakak aja, nggak lebih. Gitu aja kok dibawa pusing," ujarnya.

"Iya juga ya." Aku tentu setuju dengan penuturan Ibuku. Kenapa aku harus memikirkannya dengan sangat berat? Mengenal Aaron lebih dalam bukanlah sesuatu yang menyulitkan.

Di tengah-tengah pembicaraan serius aku dengan Ibuku, ponselku yang sejak tadi diam tiba-tiba bergetar dan menampakkan nama Aaron yang sedang menelepon aku. Dengan cepat aku langsung meraih ponselku dan kemudian suara berat Aaron terdengar.

"Halo?" kataku pelan mengingat aku sedang di tempat umum dan tidak ingin mengganggu pengunjung lain.

"Hai, jadi kapan mau jalan?" tanya Aaron ringan.

Apa laki-laki ini baru saja mengajak aku jalan dengan mudahnya seperti itu? Wah, sangat terlihat jelas bahwa hanya aku yang memikirkan semuanya dengan sangat keras.

"Gue nggak bisa sekarang," tolakku. "Lagi jalan bareng mama." Ibuku seketika menoleh ke arahku saat mendengar ucapanku.

"Oh, mau gue jemput?"

"Nggak!" tanpa ada jeda aku langsung menolak tawaran Aaron. "Nggak usah kak. Gue mau berdua aja sama mama, nanti kalau emang butuh bantuan atau tumpangan gue pasti langsung telepon lo kak."

"Oh gitu, jadi bisanya kapan? Besok? Lusa?" Aaron kembali bertanya.

"Lihat nanti deh kak, gue soalnya mau fokus ke mama aja dulu."

"Oke."

Cukup lama kami berdua saling terdiam bahkan saat sambungan telepon kami masih terhubung. Cukup lama sampai aku berbalik bertanya pada Aaron, "Alasan lo nggak nikah sampai sekarang apa kak?"

Aku sebenarnya tidak ingin menanyakan hal tersebut, namun setelah cukup berpikir, aku memutuskan untuk menanyakannya sebelum aku memulai bertemu dengannya dan memulai mengenalnya lebih dalam.

"Kenapa tiba-tiba tanyain itu?"

Aku cukup kikuk saat Aaron menanyakan hal itu, namun beruntung aku masih bisa mengatasinya dengan mudah. "Yah nggak, pengen tahu aja. Secara lo itu lebih tua dari gue, lo udah mapan mana udah sampai di tahap punya Perusahaan sendiri. Jadi kayaknya ngga mungkin nggak ada yang nggak mau sama lo." Aku menjabarkan beberapa alasan yang terlintas di kepalaku.

"Ada kok yang nggak mau sama gue," balasnya singkat.

Tanpa sadar alis aku berkerut. "Siapa?" tanya aku penasaran.

"Lo," jawabnya cepat dan tanpa keraguan.

Beruntung aku sedang tidak makan atau minum, aku bisa saja menyemburkan makanan atau minuman yang ada di mulutku saat mendengar jawaban Aaron. "Loh? Kok gue?" balasku tidak terima.

"Emang benar kan, lo nggak mau sama gue."

"Kata siapa?" desakku.

"Gue."

"Ih," ucapku tanpa sengaja. "Gue kan udah bilang kalau gue setuju-setuju aja sama tante Natasya sama mama buat kenal lo lebih dalam. Nggak mau dari mananya? Lagian nih kak, lo juga belum jawab pertanyaan awal gue. Alasan lo nggak nikah sampai sekarang itu apa?" ujarku panjang lebar.

Terdapat jeda sebelum akhirnya Aaron memberikan jawabannya. "Karena nggak ada yang cocok aja."

"Itu doang?"

"Iya," balasnya singkat. "Ya udah tutup dulu ya? Katanya tadi lagi sama tante Haurah."

"Iya." Setelah menjawabnya, Aaron segera menutup sambungan telepon.

Dan aku kembali pada realita. Berbincang dengan Ibuku mengenai orang yang baru saja menghubungi aku.

"Tadi kelihatannya berat banget mau kenalan sama Aaron, tapi tadi kedengarannya malah udah kayak akrab banget," ucap Ibuku yang tentu menyinggung betapa akrabnya aku terdengar saat berbincang dengan Aaron melalui telepon.

"Nggak ah, biasa aja," sangkalku.

BETWEEN LIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang