Part 4 : Aaron

1.1K 85 1
                                    

Sophie adalah wanita yang ceria, dia menanggapi semua ucapan Ibuku dengan tawa dan senyum yang memperlihatkan rentetan giginya yang rapih.

Mereka tidak terlihat canggung sama sekali meskipun sudah 'sangat' lama tidak bertemu. Sophie terlihat sangat mudah dekat dan akrab dengan orang-orang yang baru dikenalnya.

Selain itu, Sophie tidak terlihat seperti dalam keadaan bimbang dan cemas dengan keadaan Ibunya yang tidak terlihat jauh membaik meskipun sudah mendapatkan perawatan selama 6 bulan lamanya.

"Jadi kak Aaron kan? Gue boleh panggil kakak engga?" Dia meminta izin namun terdengar tetap seperti tetap akan memanggilku dengan sebutan 'kakak' mesikipun aku melarangnya.

Aku yang sedari tadi hanya duduk di sofa melihat ketiga wanita itu berbincang akhirnya bersuara. "Terserah saja."

Sophie mananggapinya dengan senyuman hingga matanya menghilang. "Lo engga kerja kak?"

"Sophie," panggil Ibuku kemudian membisikkan sesuatu pada telinga Sophie. Aku jelas tidak tahu apa yang bisikkan, tetapi Sophie terlihat terkejut, matanya membulat sempurna saat mendengar ucapan Ibuku.

Setelah mereka kembali membuat jarak satu sama lain, Sophie menatapku dengan tatapan tidak percaya sambil terus memasukkan kentang goreng miliknya.

"Apa?" tanyaku datar.

"Jutek amat, senyum dong." Bukan hanya mengatakannya, Sophie juga menampakkan senyumnya seakan-akan memberiku contoh cara untuk tersenyum.

"Jadi... semua biaya rumah sakit ditanggung siapa?" tanya Ibuku lagi.

Sophie menunjuk dirinya. "Aku tante."

"Kamu semua?" Ibuku memastikan. Sophie mengangguk yakin.

Selain Ibuku, aku juga orang yang cukup terkejut mendengarnya. Memang benar pekerjaan Sophie adalah salah satu pekerjaan yang cukup menjanjikan mengetahui bahwa ia adalah seorang penulis blog, tetapi dari informasi yang kami dapat dari Haurah—ibunya, finansial Sophie belum terjamin dari pekerjaan full time nya itu.

Aku mengamati wajahnya, tidak ada tanda-tanda ia lelah atau frustasi di wajahnya karena membayar biaya rumah sakit Ibunya dengan pendapatannya yang pas-pasan.

Mataku dan mata Ibuku bertemu, aku tidak mengerti maksud dari tatapannya itu.

Aku merasakan ponselku bergetar secara otomatis tatapanku pada Ibuku akhirnya teralihkan pada ponselku yang menampakkan pesan dari Farel—sekretarisku. Dengan lincah aku mengetikkan pesan balasan padanya, memintanya untuk menunggu sampai aku datang ke kantor.

Saat sedang fokus mengetik, aku merasakan sofa yang sedari tadi aku duduki bergoyang, aku dengan cepat menoleh dan mendapati Sophie yang duduk di sampingku dengan sekaleng soda di tangan kanannya.

"Kak Aaron, lo emang engga suka bicara ya?" tanyanya tiba-tiba.

Aku tidak tahu apa maksud sebenarnya dari pertanyaannya itu, tapi aku perlu memperjelas satu hal padanya. "Suka, tapi sama orang penting aja."

Bukannya diam karena jawabanku, aku mendapatkan balasan tidak terduga dari Sophie. Wanita itu terkekeh mendengar jawabanku hingga tubuhnya sedikit bergetar.

"Kalau gitu lo engga bakal punya temen kak, lo emang engga mau punya temen?"

"Engga butuh."

"Lo punya pacar ya kak?"

Ketikanku pada ponselku berhenti saat mendengar pertanyaan Sophie. Aku tidak tahu harus menjawab apa, karena jelas aku tidak terlihat seperti sedang menjalin hubungan dengan seseorang atau tidak.

"Kenapa?" Aku balik bertanya.

Sophie mengangkat kedua bahunya acuh sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. "Nikahin aja, kan lo juga engga butuh temen, jadi ya setidaknya lo punya pasangan buat sharing."

Ucapannya tidak salah. Tapi juga tidak sepenuhnya benar.

"Tapi kenapa lo engga butuh temen kak? Dari semua orang yang gue kenal, semua dari mereka pasti butuh temen."

"Gue engga tertarik sama yang namanya temen karena banyak dari mereka yang palsu."

"Kenapa?"

Banyak sekali tanyanya. Aku biasanya berhasil mengintimidasi orang-orang sehingga membuat mereka tidak berkutik lagi terhadapku, tetapi Sophie memilih untuk mengabaikan semuanya dan tetap bersikap ceria padaku.

"Kak? Diem aja."

"Kamu banyak tanya ya? Sophie."

Sophie mengulum senyumnya, namun ia berhasil berhenti bicara walaupun hanya sejenak sebelum kembali berbicara.

"Kata tante Natasya gue bisa minta apa aja buat lo beliin, beneran ya?"

Gotcha! Ibuku pasti memberitahunya mengenai pekerjaanku dan berakhir memintanya untuk menganggapku sebagai kakak yang bisa membiayai kehidupan sehari-harinya.

Tentu hal tersebut bukan hal sulit dan berat untuk aku lakukan. Tapi sudah lama sejak aku membiarkan seseorang menggunakan uangku untuk berbelanja.

"Terserah."

"Lo engga bakalan bangkrut kan kak?"

Aku kembali menoleh padanya dengan tatapan tidak percaya. "Engga sama sekali."

BETWEEN LIES [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang