Part 3 : Sophie

1.1K 75 2
                                    

Fakta menarik tentang diriku. Seorang anak perempuan yang ditemui oleh Haurah—Ibuku untuk menjadi anak keduanya. Ibuku sudah memiliki anak kandung bersama ayahku juga—orang tua sambung lebih tepatnya.

Mereka menyanyangiku seperti anak kandungnya, begitu pula dengan kakak angkatku yang memperlakukanku selayaknya saudara kandung.

Tetapi saat masuk usia sekolah menengah, aku meminta untuk pindah dan hidup mandiri di new zealand, sampai saat Ayahku meninggal dan Kakakku mengikuti Ayahku ke surga, aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta.

Penyesalan meliputi diriku karena tidak memiliki foto kenangan bersama ayahku dan kakakku saat aku menginjak umur dewasa. Dan Haurah—Ibuku memintaku untuk tidak membicarakan mereka berdua.

Terapis Haurah juga memintaku untuk tidak membicarakan mereka berdua, agar tidak memicu depresi pada Haurah.

Kami hidup seakan-akan Ayah dan Kakakku tidak pernah ada di dunia ini.

Membeli beberapa makanan untuk aku makan selama di rumah sakit sebelum menyerahkan sebagian besar uangku ke rumah sakit.

Aku hanya mampu membayar sebesar 10% tunggakan biaya rumah sakit. Kuharap mereka memaklumiku. Tentu saja, masalah mengenai finansial dan pembayaran rumah sakit ini tidak diketahui oleh Haurah—Ibuku.

Tiga burger, 2 kaleng soda, dan dua kentang goreng. Aku berniat menghabiskan itu semua dalam sekali makan saat sampai di rumah sakit.

"Saya bakalan bayar sisanya secepatnya," bisikku setelah saat membayar tunggakanku semampuku. "Saya janji bakalan bayar dengan jumlah yang lebih buat pembayaran selanjutnya."

"Baik, terima kasih."

Terima kasih! Mereka masih memberiku kesempatan untuk bernafas walaupun sementara.

Aku berjalan dengan langkah ringan—mencoba melupakan beban di punggungku untuk sementara waktu. Menjaga Haurah sampai tengah malam, dan pulang ke apartement untuk bersiap untuk melanjutkan hari yang sepertinya tidak akan jauh berbeda dengan hari-hari lainnya.

Karena volume lagu yang keluar dari earphone ku, aku tidak sadar bersenandung kecil saat membuka kamar rawat Haurah dan mendapati dua sosok asing, seorang wanita yang terlihat seumuran dengan Haurah terlihat saling bertukar gurauan, sedangkan pria disampingnya sedang sibuk dengan ponselnya.

"Ah, maaf." Aku melepaskan earphone ku agar dapat mendengar jelas perkataan orang-orang yang ada disana.

Mata wanita paruh baya itu membulat saat melihat kedatanganku. "Anak kamu?" tanyanya pada Haurah.

"Iya, Sophie, kamu ingat engga?" Haurah balik bertanya.

Wanita paruh baya itu berjalan dengan girang ke arahku dan memelukku dengan erat, seakan-akan kami saling mengenal satu sama lain. "Udah lama engga ketemu, Sophie."

Aku menyalami tangannya sebagai bentuk sapaan sopan pada orang yang lebih tua. Aku tidak tahu harus menanggapinya dengan cara apa.

Saat matanya mengarah ke arah paper bag berisi makan malamku, aku dengan cepat melontarkan tawaran. "Tante udah makan malam? Aku bawa burger, soda dan kentang goreng."

"Itu makan malam kamu, sayang."

"Oh, engga apa-apa, ini bukan makanan pertama aku hari ini," aku membalasnya dengan cerah sehingga ia tidak merasa bersalah karena memakan makan siang berhargaku.

Dan akhirnya wanita paruh baya—yang belum kuketahui namanya itu menerima tawaranku. "Udah lama banget sejak aku makan burger Indonesia."

Apa lagi maksudnya itu? Dia tidak tinggal di Jakarta?

"Kamu ingat dia siapa, Sophia? Dia Tante Natasya, dulu kamu suka main kerumahnya." Haurah menjelaskan. Tentu aku bisa mengingat mengenai Tante Natasya, tapi seberapa keraspun usahaku untuk mengingat wajahnya, aku tetap tidak bisa.

"Dan dia—"

"Ah, dan pria tinggi ini anak Tante," ucap Natasya cepat memotong ucapan Haurah sambil menarik pria yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya untuk berdiri sejajar dengannya.

"Aaron, kamu ingat?" Natasya kembali bertanya padaku.

Saat aku sedang sibuk menulusuri wajah pria itu, aku terkejut saat dia balik menatapku dan seketika aku mengingat pria yang cukup menarik perhatian yang membeli roti di toko roti Hannah.

"Eh, lo... kita pernah ketemu engga sih'?" aku bertanya untuk memastikan, tetapi sebenarnya aku sudah yakin bahwa aku tidak salah orang.

"Iya, kalian teman masa kecil dulu, kamu engga ingat, sayang?"

Aku mengerti maksud Natasya. Tetapi teman masa kecil? Jika aku tidak mengalami amnesia, aku baru saja bertemu dengan pria itu tadi pagi. Bukan saat masa kanak-kanakku.

"Bukan... maksud aku baru-baru ini."

"Iya, tadi pagi," pria itu membenarkan. Ia kemudian mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan—sebagai tanda pengenalan yang resmi, namun aku dengan cepat merapatkan kedua tanganku di depan dada.

Beruntung ia dengan cepat mengerti dan ikut merapatkan kedua tangannya di depan dada. Sebagai tanda penghormatan bahwa aku tidak berjabat tangan dengan seorang pria.

"Kalian ketemu? Dimana?" suara Natasya terdengar sangat riang mengetahui kami sudah bertemu sebelumnya selain masa kecil yang aku bahkan tidak ingat.

"Di toko roti." Bukan aku yang menjawabnya, tetapi Aaron yang dengan cepat melontarkan jawaban seakan-akan tidak ingin ada kesalahpahaman.

Mulutku berubah menjadi berbentuk huruf O saat aku baru menyadari sesuatu. "Jadi roti yang tadi... untuk Ibu... lo?" aku kembali memastikan.

Dia mengangguk sebagai jawabannya.

Pria ini... dia hanya mengeluarkan beberapa kata saat berbicara denganku.

Apa ada yang salah denganku?

BETWEEN LIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang