Bab 11: Sophie

848 60 7
                                    

➳༻❀✿❀༺➳
୨⎯ ❝ 𝐣𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐛𝐮𝐚𝐭 ❞ ⎯୧
☆ ★ 𝐯𝐨𝐭𝐞 ໒꒱ ‧₊˚
&
✎ 𝐜𝐨𝐦𝐦𝐞𝐧𝐭 ࿐
˚₊· ͟͟͞͞➳❥ ┊͙ ˘͈ᵕ˘͈ ೄྀ࿐ ˊˎ-

Aku memiliki banyak waktu luang untuk mengajak Aaron bertemu, namun yang aku khawatirkan adalah apakah aku mengganggu jam kerjanya atau tidak. Beruntung Aaron selalu bersedia untuk bertemu denganku, seperti yang ia lakukan hari ini, meluangkan waktu untuk bertemu denganku sambil menikmati kopi dingin untuk mengatasi rasa gerah.

Membicarakan mengenai keinginan Ibuku untuk mengenal Aaron lebih dalam bukanlah tujuan utama aku untuk bertemu dengannya hari ini. "Leukemia mama udah nyebar kak, harus di operasi," jelasku. Memberinya kabar mengenai Ibuku adalah tujuan utama aku untuk bertemu dengannya, bagaimana pun Aaron adalah orang yang melunasi biaya rumah sakit Ibuku sebelumnya.

"Jadi? Kapan operasinya?" tanya Aaron cemas.

"Mama nggak mau di operasi," jawabku cepat, kemudian aku melanjutkan, "Gue nggak ada niatan apa-apa bilang ini ke lo kak, cuma gue rasa lo juga harus tahu soal ini, karena sebelumnya lo udah bayar biaya rumah sakit mama."

"Tante Haurah nggak mau di operasi? Kenapa?"

"Kata mama, dia mau habisin sisa waktunya bareng gue, bukan cuma di rumah sakit, jadi gue mutusin buat bareng-bareng terus sama mama sampai beberapa hari ke depan," aku menjelaskan.

Aaron mengangguk mengerti. "Nyokap gue udah tahu?"

Aku menggeleng. "Kayaknya belum, gue belum bilang ke siapa-siapa selain lo kak. Tapi nggak tahu kalau mama udah bilang ke tante Natasya."

Ibuku bukanlah tipe yang akan menceritakan masalah atau keputusannya kepada orang lain, tetapi menurut aku ia akan menceritakan semuanya pada tante Natasya tanpa tersisa. Aku tidak pernah melihat Ibuku memiliki seorang teman yang begitu terhubung dengannya.

Sebelum melupakannya, aku buru-buru mengeluarkan ponselku untuk mulai menyicil mengganti uang Aaron yang dia gunakan untuk membayar biaya rumah sakit Ibuku. Aku tahu besar biaya yang dikeluarkan Aaron belum seberapa dengan pemasukannya perhari, akan tetapi aku tetap saja berutang padanya. Mau sebesar atau sekecil apapun angkanya, aku akan tetap membayarnya.

"Gue udah transfer lima juta dulu kak, coba di cek dulu," ucapku setelah selesai mengirim uang pada rekening Aaron yang nomor rekeningnya berhasil aku dapat dari sekretarisnya.

Namun tanpa berkata apa-apa, Aaron dengan cepat mengembalikan uang yang baru saja aku kirim, namun dalam jumlah yang jauh lebih besar dari yang aku kirimkan. Memang benar aku mengirim uang sebesar 5 juta rupiah padanya, namun laki-laki itu mengembalikannya padaku dalam jumlah 50 juta rupiah. Aaron mengirim uang sebesar itu tanpa ragu.

"Kak? Kok dibalikin? Mana banyak banget lagi!" pekikku terkejut.

"Kalau lagi butuh uang, ngapain kirimin gue uang juga?" Aaron balik bertanya dengan santai.

Aku menggeleng keras tanda tidak setuju. "Jangan, jangan! Gue transfer lagi, tapi jangan balikin ke gue lagi ya kak."

Aaron mengangguk pelan. "Kalau lo balikin, gue bakalan tambahin nominalnya, mau?"

Aku menyerah. Aaron benar-benar laki-laki yang tidak membutuhkan uang sebagai hadiahnya, ia menolak uang yang aku kirim. Aku tahu dia seorang bujangan yang kaya raya, pasti banyak wanita pasti akan mau menerimanya jika ia memamerkan sedikit saja dari hartanya. Tetapi meskipun begitu, Aaron bukanlah seorang pria yang seperti itu.

Dengan berat hati aku memasukkan kembali ponselku ke dalam tas karena Aaron menolak menerima kembali uang yang sudah ia kirimkan. Dan aku tentu menghindari jika saja Aaron mengirimkan aku uang dalam jumlah yang lebih besar.

Ada beberapa hal yang ingin aku bahas pada Aaron, tentu hal tersebut juga menjadi tujuanku mengajaknya bertemu. Aku tahu dia sibuk, dan aku berterima kasih karena Aaron bersedia untuk meluangkan waktunya untuk bertemu dengan aku.

Aku menyesap iced butterscotch latte milikku, berusaha membasahi tenggorokan aku dan menghilangkan kegugupan. Aaron tetap terlihat santai sedangkan aku sedang berkelahi dengan pikiran aku sendiri.

"Kemarin gue di telepon sama tante Natasya." Aku akhirnya mengatakannya, dan respon yang diberikan Aaron sangat jauh berbeda dari dugaanku. Aku menduga dia akan tetap tenang, namun sebaliknya Aaron hampir saja tersedak kentang goreng yang dia makan.

"Kenapa?"

"Tante Natasnya tanya, katanya gue punya pacar nggak? Terus gue jawab jujur aja kalau gue lagi nggak sama siapa-siapa sekarang, jadinya tante Natasnya tawarin gue buat kenal lo lebih dalam lagi kak, karena katanya lo mau-mau aja," ujarku jelas.

Aaron mengangguk mengerti. "Iya, gue udah tahu."

"Udah tahu kak?" aku memastikan.

"Iya, kata nyokap juga tante Haurah udah bicara sama lo, dan akhirnya lo mau juga setelah di bujuk lama."

Memang benar apa yang diucapkan Aaron. Ibuku bekerja cukup keras untuk membujuk aku agar mau mengenal Aaron lebih dalam. Sebetulnya aku tidak pernah memandang Aaron lebih dari seorang kakak yang dapat diandalkan, namun karena Ibuku terus menerus mencecarku dengan berbagai alasan untuk mengenal Aaron, aku akhirnya setuju.

"Kalau kak Aaron sebenarnya nggak mau, nggak apa-apa kok. Gue juga nggak nolak tante Natasya karena nggak enak, kalau aja tante Natasya langsung nanya gue buat nikah sama lo, pasti nggak langsung gue jawab juga kak. Lagian selama ini gue anggap lo sebagai kakak doang, nggak lebih," ujarku panjang lebar.

"Bener?" Aaron memastikan. Aku menjawabnya dengan anggukan mantap tanpa keraguan. "Ya udah, kalau gitu kapan?" tanya Aaron.

Alis aku berkerut tanda bingung dengan pertanyaannya yang jelas tidak berhubungan dengan penjelasan aku. "Apanya yang kapan kak?"

"Jalan buat kenal lebih dalam lagi. Kan lo cuma anggap gue kakak doang, nggak lebih." Aaron mengulangi ucapanku dengan senyum kecil menghiasi wajahnya.

"Hah?"

BETWEEN LIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang