Bertemu

2 2 0
                                    

Daun pintu berdencing seusai pelanggan memasuki cafe. Waktu hampir menunjuk jam makan siang. Pengunjung sudah setia menampakkan batang hidung di setiap sisi ruangan.

Dua sejoli itu duduk di dekat kaca yang dibumbui kelap-kelip lampu tumblr. Edward memberikan buku menu serta note dan pena yang sudah tersedia di ujung meja.

"Pesanlah apa yang kau inginkan."

"Samakan denganmu saja," ujar Hae-In halus.

Edward menggeleng. "Tidak. Pilihlah sesuai yang kamu mau. Kemungkinan besar kita berbeda selera bukan?"

Hae-In menurut. Ia menuliskan menu berupa waffle topping madu dan cokelat panas. Dia benar-benar pecinta cokelat.

"Sudah," katanya sambil memberikan note pada Edward.

Tidak butuh waktu lama, pria itu juga menyelesaikan tulisannya lantas menyobek kertas tersebut. "Aku pergi ke meja kasir dulu ya?" Hae-In mengangguk.

Sembari menunggu Edward kembali, ia menopang wajah dengan tangannya. Satu yang lain bermain ponsel.

Sampai sekarang. Ia masih belum memantapkan hati untuk kembali aktif di media sosial selain aplikasi chatting pribadi untuk berkomunikasi.

Satu pesan masuk dari Park Yeji.

|Hae In-ahh
|Kau dari jurusan manajemen kan?
|Aku mendapat informasi lowongan pekerjaan dari temanku
|Sepertinya sangat cocok untukmu

Menutup hubungan dengan Park Sunghoon bukan berarti hilang jejak dari sahabat karibnya, Yeji. Perempuan itu tahu akan problematik yang tengah dihadapinya kala itu.

Meski mereka berbeda universitas, keduanya sering bertemu di luar untuk menghabiskan waktu. Sekedar mengobrol ataupun menghilangkan penat.

Seusai menjawab pesan dari Yeji, gadis itu kembali menutup layar ponsel. Edward sedang berjalan ke arahnya.

"Sebentar lagi pesanannya akan di antar," katanya.

"Kau sering sekali mentraktirku, Edward. Terimakasih," ucap Hae-In.

Pria itu tertawa kecil. "Entahlah, aku suka menghabiskan waktu bersamamu."

Sang empu terdiam canggung. Terbiasa saja Hae-In tidak bodoh dengan maksud teman sejak SMA-nya ini. Namun ia berpura-pura mengedar ke sekitar.

Keningnya mengerut kala melihat para pegawai yang tengah melayani. "Bukankah pegawai cafe lebih banyak dari biasanya?"

Edward mengangguk setuju. "Benar. Biasanya hanya dua sampai empat orang saja."

Bahunya mengedik tak peduli. Mungkin saja pemilik cafe memang membutuhkan banyak pekerja.

Netranya jatuh pada satu benda yang terletak di meja hias. Sebuah kamera.

Kemudian ia menemukan lagi yang melekat di salah satu meja pelanggan dekat kasir.

Hae-In menatap pria berpakain hitam khas multimedia tengah mengatur kamera yang tertopang oleh sebuah tripot.

Tunggu sebentar.

Apakah dirinya tengah masuk salah satu program televisi?

____

"Antarkan pesanan ini ke meja nomor 17," kata salah seorang pria bermasker.

Sang empu mengangguk patuh. Ketika ia hendak mengangkat nampan tersebut, seseorang menghentikan aktivitasnya. Sontak hal itu membuatnya menoleh.

"Biar aku saja yang membawa. Kau tunggu yang lain."

"Oh? Oke," entengnya.

Sebelum diantar, ia berjalan ke belakang pantry untuk melakukan suatu hal di sana.

Pria jangkung itu berjalan semakin dekat menuju meja nomor tujuh belas dimana sepasang muda-mudi tengah duduk berhadapan.

"Permisi, ini pesanan Anda."

Gadis yang begitu ia kenal menegakkan punggung. Suara yang didengarnya sangat familiar di telinga. Sang pegawai jangkung itu tersenyum tipis di balik masker.

"Maaf kalau sok tahu, sepertinya akan ada syuting di sini," kata Edward menunjuk pria yang sempat dilihat oleh Hae-In.

Pegawai itu mengangguk ramah. "Kau benar sekali. Sebentar lagi para pelanggan akan mendapat kejutan dari kami. Dan kalian salah satunya."

Alis Edward naik sekilas. Dia berusaha memahami maksud pelayan ini. Sedangkan Hae-In, sejak tadi tangannya bergerak gelisah.

Gerakan itu ditangkap jelas oleh sang pelayan. "Tidak perlu gugup, syuting nya santai."

Hae-In merasa tersindir.

Edward melihat para pegawai membuka masker serentak. Begitu juga dengan Hae-In. Ia mematung kala pelayan di sampingnya menampakkan wajah tampannya.

"Park Sunghoon?!" seru Edward terkejut.

Tepuk tangan kagum terdengar dari segala penjuru.

Hae-In terbius oleh keadaan.

Sekaligus senyum hangat yang dilempar intens untuknya.

Edward langsung mengarahkan ponsel yang didalamnya terdapat mereka bertiga. "Boleh kami mengambil foto bersamamu?"

Sunghoon mengangguk. "Tentu."

Teman kampus itu menotice ekspresi kaku sang perempuan berambut bergelombang. "Hae In-ahh, tunjukkan senyummu. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali."

Hae-In tersentak kala Sunghoon merendahkan tubuh di sampingnya seraya berbisik, "Tersenyumlah."

Gadis itu mercoba melengkungkan bibirnya.

Cekrek

"Terimakasih," ucap Edward dengan sedikit membungkuk.

"Sama-sama. Nikmatilah makanan manis kalian. Bila ada perlu bisa panggil aku," ramahnya sambil melirik Hae-In sekilas sebelum kembali ke meja kasir.

Tersisa mereka berdua di sana. Edward mempersilahkan Hae-In yang masih termangu untuk memakan pesanannya.

Hae-In mengangguk pelan. Ia mengangkat cangkir cokelat panas ke udara untuk disesapnya.

Namun, sebuah tulisan yang tertinggal di alas gelas membuatnya segera menjatuhkan tangan di atasnya dan menimbulkan keheranan oleh Edward.

"Kenapa?"

Hae-In menggeleng sambil tersenyum. "Tidak ada apa-apa."

Tertulis di atas kertas alas secangkir cokelat panas,

'Jalanan tepi sungai Han. Pukul 8 malam. Aku tunggu.'

Stuck With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang