Wejangan

2 2 0
                                    

Koridor asrama cukup ramai akan lalu lintas mahasiswi. Hae-In tengah membawa satu keranjang pakaian kotor miliknya dan teman-teman menuju tempat laundry.

Setiap orang harus melakukannya sendiri karena tidak ada petugas yang berjaga di sana.

Ponsel tiba-tiba berdering di dalam saku celana.

Panggilan dari Park Yeji.

Tanpa berlama-lama, ia langsung menerima sambungan telepon tersebut dan menyapa ramah sahabat karibnya itu.

"Hae In-ahh, i'm sorry," ucap Yeji.

Hae-In menempelkan ponsel di antara bahu dan telinga karena harus memasukkan pakaian ke dalam mesin. "Eh? Kenapa minta maaf?"

"Pekerjaan yang aku tawarkan padamu kemarin sudah diambil orang lain. Kita kalah cepat."

Gadis itu terkekeh. "Ya Tuhan, kau jangan merasa bersalah begitu. Aku malah sangat berterimakasih sekali padamu. Sudah mau mencarikan berbagai informasi untukku."

"Jelas lah! Kau kan teman ku!"

"Dengar ya, setelah ini kau tidak perlu melakukan hal itu lagi. Aku mampu mencarinya sendiri. Lagipula sebenarnya aku sudah mengirim surat lamaran pekerjaan di tiga perusahaan. Tinggal menunggu jawaban."

Hae-In menuang sabun ke dalam mesin tersebut.

"Oh iya, aku dengar ... Semalam kau habis bertemu dengan kakakku?"

Gadis itu terdiam sejenak. "Kak Sunghoon bicara padamu?"

"Hm. Dia mendatangi apartemenku."

"Iya, kami sempat mengobrol sebentar."

Yeji menggigit jari di seberang sana. "Sebenarnya aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu. Tapi janji tidak akan marah padaku."

"Apa?"

"Janji dulu!" desak Yeji.

Hae-In menghela napas. "Baik, aku berjanji tidak akan marah."

"Sebenarnya ... Aku telah memberi tahu segalanya tentangmu pada Kak Sunghoon. Mulai dari kampus hingga nomor telepon. Hehe."

Matanya membelalak. "Yeji!"

Ia tersadar bahwa suaranya kencang sehingga beberapa orang mengalihkan perhatian padanya. Hae-In sedikit membungkukkan badan merasa bersalah.

"Kakak memaksaku ... Katanya demi kebaikan di antara kalian berdua ... " cicitnya.

Sang empu memijat pangkal hidung. Setelah ini pria bernama Park Sunghoon akan kembali merecoki hidupnya.

"Hae-In, kau masih di situ kan?"

"Hm," ujarnya terdengar datar.

Yeji kalang kabut. "Please, jangan marah padaku."

"Tidak. Bukannya aku sudah berjanji?" sedangkan yang ditangkap oleh seberang terdengar kebalikannya.

"Aku sedang sibuk mencuci pakaian. Aku tutup dulu ya teleponnya?"

Terpaksa Yeji mengiyakan keinginan gadis itu. "Baiklah, bye!"

Ditatap sejenak ponselnya itu sebelum kembali masuk ke dalam saku.

____

"Five, six, seven, eight!"

Dance studio khusus Enhypen tengah disibukkan dengan jadwal rutinan. Meski belum ada event yang menanti, mereka harus tetap latihan supaya skill semakin terasah.

Setidaknya tidak ada kata menganggur.

Pelatih mengawasi dari sudut ruangan. Beberapa pria berpakaian casual itu menggerakkan tubuh sesuai koreografi yang dibuat. Menatap masing-masing melalui pantulan cermin.

"Oke, kalian semua bisa istirahat sejenak. Kita lanjut latihan lima belas menit lagi."

Dada Sunghoon naik turun selaras dengan napas yang terengah. Ia menepi dan duduk bersandar dinding berdekatan dengan Jake, si pria berdarah campuran Australia.

"Thanks!"

Sunghoon menerima sebotol air yang diulurkan olehnya. Jakun yang menonjol di leher bergerak naik turun. Andai saja wanita melihat hal itu, mungkin jantungnya sudah jatuh hingga usus.

"Kemarin berhasil bertemu dengan perempuan itu?" tanyanya.

Jake tentu tahu karena Sunghoon menceritakannya bahkan ketika program acara cafe itu selesai. Meski Jake belum melihat secara langsung bagaimana wajah si pemilik nama Yoon Hae In tersebut.

Sunghoon mengangguk. "Saat itu aku baru memahami mengapa dia menghindariku selama bertahun-tahun."

"Memang apa penyebabnya?"

"Saat SMA dia mendapat bullying verbal di akun instagrammya. Dia sangat kesal padaku sampai memilih untuk memutus komunikasi."

"Ah ... Aku bisa merasakan bagaimana jika diriku berada di posisi gadis itu," gumam Jake ber-empati.

"Hayooo! Kalian sedang membicarakan siapa? 'Gadis itu'?" sambar seorang pria dengan sablon bertuliskan nama Jay di kausnya.

Jay duduk di hadapan mereka berdua sambil menaik-naikkan alisnya jahil. Jake melempar botol tiba-tiba membuat sang empu kalang kabut.

"Hei! Kau ingin membuat wajah tampanku ini lecet huh?!" ucapnya usai menangkap botol tersebut.

"Terlalu kepo itu tidak baik," kekeh Sunghoon.

Pria itu menyipitkan mata sebal. "Dua tiga bunga raya! Kau bukan kawan saya!"

Bahkan virus pantun Jarjit merebak luas hingga penjuru Korea Selatan. Marveolus!

"Kita tidak menyembunyikan apapun karena kita semua sudah mengetahuinya sejak lama," imbuh Sunghoon pelan.

Jay membuka bibirnya. "Ah ... Perempuan dalam artikel lama itu."

Jake berdecak. "Gara-gara kedatanganmu, cerita Sunghoon jadi tertunda," kemudian menoleh pada sang empu, "ayo lanjutkan!"

Sunghoon menghela napas. "Katanya, dia menyesal bertemu denganku."

"Jangan terlalu diambil serius. Hati perempuan memang sensitif, tapi kalau kau berusaha meminta maaf secara tulus, aku yakin dia akan luluh," kata Jay bijak.

Jake menambahkan. "Aku rasa Hae-In bukan tipe gadis yang mudah luluh dengan kata-kata."

Jay menjentikkan jarinya. "Setuju! Kau harus melakukan sesuatu untuknya."

"Apa?"

Jay melotot. "Kenapa malah balik bertanya? Ada banyak hal di dunia ini yang bisa kau lakukan. Memberinya bunga, mengajaknya pergi, terserah lah!"

" Jika masih bingung, tanya saja pada internet. Dia lebih jago daripada manusia," tutupnya.

"Tapi—"

Ucapan Sunghoon terpaksa berhenti karena seruan sosok pelatih. "Latihan kembali dimulai!"

 

Stuck With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang