———
Selama dalam perjalanan Wangsa hanya diam, cenderung melihat pemandangan luar, terlebih lagi saat mobil mereka sudah memasuki pemukiman, kanan kiri hanya terdapat sawah yang hijau, terasa asri dan sejuk bagi orang yang banyak pikiran.
Sesampainya di sana, ada bapak-bapak berpeci putih dan seorang ibu berjilbab syar'i panjang yang menyambut kedatangan mereka di depan gerbang. Gavan lantas segera turun dari mobilnya dan bersalaman dengan mereka, sedangkan Wangsa masih berada di dalam mobil, enggan untuk turun. Melihat tempatnya saja Wangsa sudah tidak berminat untuk tinggal di sini dalam waktu yang cukup lama, oh Tuhan, sepertinya Wangsa berubah pikiran!
Gavan membukakan pintu mobilnya untuk Wangsa, kemudian berkata, “Teh, ayo turun, salaman dulu ke Pak Kiyai sama Umi Hasan.” Sembari tersenyum.
Wangsa menggeleng. “Aku gak mau tinggal di sini!” Lantas turun dari mobil dan memeluk Gavan erat. “Aku mau ikut Papi aja ke Itali,” rengek gadis itu.
“Hei, emangnya kenapa kamu gak mau tinggal di sini?” tanya seorang wanita berjilbab panjang itu seraya tersenyum manis meraih tangan Wangsa.
Wangsa menggeleng lagi tanpa menjawab.
“Biasalah Umi, belum adaptasi jadi mikirnya bakal gak betah, padahal di sini rame banyak temennya,” sahut Gavan sambil mengusap-usap kepala putrinya yang berbalut kerudung jeblos ala kadarnya.
“Pesantren itu gak semenyeramkan apa kata orang- orang, kok, Neng. Umi yakin kamu di sini pasti bakal betah karena banyak temen-temennya,” ucap Umi Hasan yang seakan mencoba untuk mencuci otak Wangsa agar mau tinggal di pesantren kecil ini.
Heran banget sama Gavan, padahal masih banyak pesantren yang jauh lebih bagus dari ini, bahkan berkali-kali lipat bagusnya, tetapi kenapa memilih pesantren kecil ini untuk Wangsa? Baru menginjak tanahnya saja gadis itu sudah merasa gak betah, beda banget sama review anak pesantren di sosial media, kelihatan asik dan menyenangkan. Aslinya? Entahlah, mungkin beda pesantren, beda suasana.
“Salaman dulu, gih. Kenalan sama Pak Kiyai dan Umi Hasan. Papi mau ambil koper kamu dulu di bagasi,” ucap Gavan yang diangguki kepala oleh Wangsa. Gadis itu lalu bersalaman pada mereka.
“Gak usah takut, kita di sini belajar bersama-sama, kamu bakalan diajarin dari nol sampe bisa,” begitu kata Pak Kiyai sembari mengusap kepala Wangsa.
Wangsa mengukir senyum di bibirnya dengan sedikit terpaksa saat Umi Hasan mengajaknya masuk lebih dulu ke dalam. Gadis itu melihat sekumpulan anak perempuan memakai mukena putih sambil membawa Al-Qur'an sehabis dari masjid, pulang sholat subuh sekaligus mengaji.
Sedangkan Gavan di belakangnya sedang asik mengobrol bersama Pak Kiyai sembari membawa koper milik putrinya ke dalam pesantren, satunya lagi dibantu oleh seorang santri. “Terimakasih ya.”
“Sama-sama, Pak.” Santri tersebut lalu pamit.
Setibanya di ruangan utama, mereka dipersilakan duduk di kursi kayu yang tersedia dan disediakan sesuguhan teh manis serta gorengan seadanya.
Wangsa protes, “teh sama gorengan doang?”
“Hush, jangan ngomong gitu di depan makanan.” Gavan menegur putrinya dengan memukul pelan tangannya. Pria itu lalu tersenyum pada Pak Kiyai.
“Neng Wangsa emangnya mau apa?” tanyanya.
“Pitsa sih kalo ada,” ucap gadis itu seraya menaikkan kaki kirinya ke atas kaki kanan.
“Teh, gak boleh gitu kakinya!” tegur Gavan seraya menurunkan kaki Wangsa yang tidak sopan, lantas kembali tersenyum pada Pak Kiyai dan Umi Hasan.
“Kalau pitsa mah di sini gak ada atuh, Neng.”
“Ya udah kalo gak mampu gak usah nawarin.”
Spontan semua orang yang ada di dalam ruangan itu mengucap istighfar sembari mengusap dada mendengar ucapan Wangsa yang asal ceplos.
“Maaf, ya, Umi, Pak Kiyai. Si Teteh kebiasaan di rumah.” Gavan menangkupkan kedua tangannya.
Beruntunglah mereka memakluminya, Pak Kiyai tersenyum. “Tidak apa -apa, Pak, kami maklumi.”
Ah, Wangsa males banget kalau basa-basi gini. Mana tempatnya gak nyaman, bau-bau tanah. Keknya dari Pak Kiyai kolot itu yang sebentar lagi harus pensiun dari statusnya sebagai manusia.
Wangsa harus alesan, biar gak mati kutu di sini. Setidaknya Wangsa harus kabur, mendingan ikut papinya ke Itali daripada harus tinggal di sini!
Sepintas Wangsa memiliki ide, walau terdengar pasaran, tetapi Wangsa harus membuatnya semeyakinkan mungkin agar mereka percaya.
“Aduh, aku mules, pengen ke toilet. Mau BAB,” ucap Wangsa sembari memegangi perutnya agar mereka semua percaya bahwa gadis itu betulan sakit perut.
“Ayo, Nak, Umi antarkan ke toilet.” Umi Hasan menawarkan diri untuk mengantar Wangsa.
“Eh, gak usah, gak usah!” Gadis itu menolak, pasalnya ia cuma pura-pura, entar gagal susunan rencananya kalau dianter Umi Hasan. “Biar aku sendiri aja, cukup kasih tau toiletnya ada di sebelah mana?”
“Kamu gak lagi ngibul 'kan?” tanya Gavan, curiga.
“Beneran, kok, Pih, ini udah di ujung, emang gak papa kalo aku cepirit mencret-mencret di sini?” Wangsa berusaha akting senyata mungkin agar Gavan bisa percaya kalau dirinya sakit perut. “Aku sih gak masalah ya eek di sini, asal bukan aku yang bersihin.”
Gavan bergidik ngeri. Itu bisa saja terjadi, mengingat ketika di rumah saja Wangsa sering berak di celana sampai eeknya uprat-apret di lantai.
“Di gedung ini gak ada toilet?” tanya Gavan.
Pak Kiyai menggeleng. “Nggak ada, Pak. Kamar mandinya sengaja dibuat terpisah supaya tertib.”
“Gini, gini, keluar dari pintu ini kamu belok kanan, terus jalan lurus aja ikutin jalur, di jembatan nanti kamu pilih belok kiri, nah toiletnya ada di sebelah kanan, deket pohon. Nanti di situ ada tulisannya, kok, toilet khusus perempuan,” jelas Umi Hasan.
“Kalo toilet laki-laki di mana?” tanya Wangsa, iseng.
“Kamu ngapain nanyain toilet laki-laki?” Gavan langsung menatap Wangsa, tidak habis pikir.
“Mau ngintip aja,” jawab gadis itu, jujur. “Cowok pesantren pada suka rajin sikat gigi gak sih?”
“Kagak! Biar jigongan, HAH, gitu entar!” balas pria itu, sebal. “Aneh-aneh aja yang kamu tanyain!”
Sementara Wangsa cuma nyengir ala princess.
———
Thank u, next.
Gavan Del Wazm|6
KAMU SEDANG MEMBACA
THIS IS CEGIL (on going)
Cerita Pendek"Wangsa adalah cegil... cewek gila!" Kali ini aku akan menceritakan tentang Del Wangsa (19th) si cewek bandel yang tiba-tiba dijerumuskan ke dalam pesantren oleh ayahnya sendiri. Awalnya Wangsa ingin kabur dari sana, tapi seseorang menggagalkan renc...