I. Kedai

64 6 2
                                    

Jangan lupa vomentnya kakaa, terimakasih

Jangan lupa vomentnya kakaa, terimakasih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kota Y, tahun 19xx.

Ramai, sesak, suasana yang lumrah ada di pasar. Pedagang berjejer di pinggir jalan dengan barang-barang jualan mereka disusun rapi untuk menarik pembelinya. Teriakan-teriakan mereka terdengar jelas ditelinga siapa saja yang mendengarnya.

"Sayur sayur! Sawi, wortel, kubis segar semuanya! Mari! Mari!"

"Kopinya, bung! Tak sedap pagi harimu tanpa kopi hitam!"

"Kemiri, cengkeh, pala semuanya ada! Lengkap tanpa terkecuali! Rempah terkenal pak Bejo!"

Dan diantara para pedagang maupun pembeli yang berbondong-bondong pergi ke pasar dengan tujuan mereka masing-masing, ada pula yang mampir untuk sekadar menyapa kawan lama.

Mencolok, satu kata untuk seorang pria tinggi yang berjalan diantara kerumunan. Pakaiannya tak lusuh, jauh berbeda dibandingkan orang-orang disekitarnya. Kemeja panjang yang ditekuk sampai siku, bahkan pergi ke pasar pun ia bersepatu.

Mata tiap orang menuju padanya, bagai tontonan langka yang lama tak jumpa. Senyum manis terukir di bibirnya, matanya ikut melengkung tatkala ia tersenyum.

"Bung Jayendra!"

Mendengar suara berat memanggil namanya, sontak ia berbalik. Tangannya melambai menanggapi panggilan dari kawannya, dengan senyum lebar ia berjabat tangan.

"Wah, wah, Abinawa Jayendra. Lama tidak bertemu, bung. Ku dengar kau baru kembali dari daerah selatan," pria itu menepuk-nepuk bahu lebar Abinawa. Beberapa tahun tidak bertemu, kawan lamanya ini semakin gagah.

Abinawa, masih dengan senyum lebarnya menjawab, "astaga bung Harsa, sungguh kebetulan kita bertemu di sini. Benar, baru kemarin aku kembali pulang."

"Lebih tepatnya bukan kebetulan, aku bukan Harsa yang kau kenal seperti dulu. Aku punya usaha sekarang di pasar ini. Kedai kopi Harsa. Yang menyajikan kopi paling nikmat di kota ini. Kau harus mampir, bung," ujar Harsa dengan nada sombongnya.

"Oh, benarkah? Sungguh kejahatan jika aku tidak mampir ke kedaimu. Dimanakah itu?"

Mereka pun beralih ke tempat lain. Mereka berjalan kaki berdampingan menuju tempat usaha Harsa. Orang-orang menyapa Abinawa, tak sedikit yang panggling atas perubahan Abinawa setelah bertahun-tahun.

Lalu sampailah mereka, di kedai kopi Harsa. Perbincangan orang-orang bagai tak ada rahasianya terdengar begitu keras di sini. Tawa sekumpulan pria paruh baya pun tampak sama sekali tidak menganggu orang-orang di sekitarnya. Apalagi sekumpulan asap tebal yang keluar dari sebatang rokok yang ada di antara bibir mereka.

Tak disebut aneh lagi, bangku meja kayu berjejer rapi. Di tiap-tiap meja terdapat asbak rokok, lengkap dengan beberapa pilihan rokoknya.

"Sungguh ramai kedaimu, bung. Kau benar-benar berjaya."

Last Mission: LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang