Jangan lupa vomentnya kakaa, terimakasih
Lyora hanya tidak menyangka, ia akan kehilangan kakaknya secara tiba-tiba tepat di depan matanya, dan ia harus menikah dengan lelaki yang tidak ia sukai karena permintaan terakhir kakaknya. Baru seminggu kakaknya meninggal, tetapi ia sudah menikah dengan Abinawa.
Setelah muak dengan drama yang ada di rumah Gautama, akhirnya Lyora bisa pindah ke rumah lain. Meskipun ia hanya semakin muak karena ia akan serumah berdua dengan Abinawa.
Karena telah pindah ke rumah baru, di mana hanya ada Lyora dan Abinawa di rumah itu, Lyora bisa menjadi lebih bebas. Lyora ingin pisah ranjang mulai sekarang.
Selama tinggal di rumah mertuanya Lyora terpaksa tidur satu kamar, satu ranjang bersama Abinawa. Lagi pula, Lyora juga tidak mau jika harus tidur di sofa hanya untuk menghindari satu ranjang bersama Abinawa. Jauh lebih baik apabila Abinawa yang tidur di sofa dan Lyora di kasur yang nyaman.
Namun, rencananya untuk pisah ranjang gagal. Abinawa sudah tahu gerak-geriknya dari awal, sejak baru pindah Lyora sudah menata barang-barangnya di kamar lain, bukan di kamar utama di mana seharusnya mereka berdua berada.
Sejak sore Lyora mengunci diri di kamarnya agar ketika malam hari Abinawa tidak akan menghampirinya, tetapi Lyora melupakan satu hal. Abinawa pemilik rumah ini, ia yang berkuasa atas semua ruangan.
"Kamu lebih suka tidur di sini daripada di kamar utama?" Abinawa bersandar pada pintu, menatap Lyora yang duduk di ranjang.
Lyora berdecak kesal, ia tidak tahu jika Abinawa mempunyai kunci cadangan. "Iya, lalu?"
"Kalau begitu aku akan tidur di sini juga," Abinawa berjalan mendekati ranjang, Lyora langsung melemparinya dengan bantal.
"Tidak, aku tidak mau tidur denganmu lagi. Sudah, sana. Pergi ke kamarmu sendiri!" Lyora menatap Abinawa yang hanya berdiri sambil memegang bantal yang ia lemparkan tadi.
"Tidak ada kata kamar sendiri, Lyora. Aku mau kamar kita. Aku tidak akan membiarkan kita pisah ranjang. Sekalipun tidur di kandang sapi, kita harus tidur bersama."
Abinawa langsung melempar bantal itu ke kasur dan merebahkan diri di sana, ia menatap Lyora yang masih duduk membelakanginya. "Sini, kita belum pernah bicara dengan serius selama kita menikah."
"Lagi pula apanya yang perlu diseriusi," tangan Lyora mengambil guling yang ada di samping Abinawa, Lyora memangku guling itu, masih membelakangi Abinawa.
Abinawa merubah posisinya, ia ingin melihat wajah Lyora ketika ia berbicara. Kini kepalanya tepat berada di samping Lyora, melihat Lyora yang tampak murung lagi.
"Kita, pernikahan kita itu serius, Lyora. Aku tahu kamu dari awal tidak setuju, tetapi-"
"Iya, kau sudah tahu kalau aku tidak setuju. Lalu kenapa kau tidak membiarkanku melakukan hal yang ku inginkan? Aku hanya ingin pisah ranjang, bukan pisah rumah."
Ucapan Lyora ditanggapi Abinawa dengan senyuman. Lyora selalu memotong pembicaraannya ketika ia bicara, tetapi itu lebih baik dari pada Lyora tidak mau bicara padanya.
"Karena aku suamimu," jawab Abinawa. "Bisa aku minta tolong, dengarkan aku dulu, jangan menyela. Bisakah? Tolong, ya? Aku ingin kamu mendengarkanku lebih dahulu."
Akhirnya Abinawa bangun, ia duduk di samping Lyora. Kali ini tidak ada perlawanan dari Lyora, Lyora tidak bergerak sedikitpun dari tempat duduknya. Membuat senyuman kembali terukir di bibirnya, "aku sedih melihatmu murung, Lyora. Aku hancur melihatmu seperti itu."
Lyora tetap menatap ke lantai, melihat jari-jari kakinya bergerak. Ia mendengarkan ucapan Abinawa, ia jelas mendengarnya. Lyora hanya tidak ingin menjawab.
"Aku sudah berjanji, pada diriku sendiri, pada mendiang Harsa. Selama pernikahan kita, aku ingin hanya ada senyuman yang terlukis di wajahmu. Aku tidak ingin melihat ada air mata berjatuhan di pipimu. Aku ingin kamu bahagia bersamaku, berlianku."
Abinawa jelas kecewa melihat tidak ada respon yang diberikan oleh Lyora, tetapi setidaknya itu berarti ia mempunyai kesempatan untuk bicara, meyakinkan Lyora sekali lagi.
"Aku berharap kamu tidak menganggap ini omong kosong, ya," Abinawa ingin sekali memegang tangan Lyora saat ini, tetapi jika ia lakukan itu, ia yakin Lyora pasti akan menamparnya, jadi ia menahannya. "Setidaknya, kamu harus percaya bahwa aku bukan seseorang yang akan memberi harapan palsu. Aku selalu menepati janjiku, Lyora. Tidak peduli apapun yang akan kulakukan."
"Aku tidak mau memegang janji seseorang lagi. Apapun yang kau katakan padaku, entah itu kata-kata manismu, atau jika kamu benar bersungguh-sungguh padaku, aku tidak akan mempercayainya dengan mudah. Aku tidak mau kecewa," ucap Lyora.
"Aku tidak memintamu untuk memegang janjiku, aku hanya ingin kamu percaya padaku. Kali ini, jangan melihatku sebagai Abinawa yang selalu membuatmu kesal, lihat aku sebagai suamimu."
Kata-kata Abinawa berhasil menembus hati Lyora. Tangan Lyora mengepal meremas guling di pangkuannya, ia merasa telah terpengaruh oleh kata-kata Abinawa.
Namun, sekedar kata-kata tidak cukup untuk meluluhkan hatinya.
Saat ini, ada satu pertanyaan di benak Lyora. Kenapa Harsa memintanya untuk menikah dengan Abinawa? Padahal Harsa sudah jelas mengetahui ia tidak menyukai Abinawa dari kepala sampai kaki.
"Hei, bukankah ini pertama kalinya kita berbicara panjang lebar setelah kita menikah?" Abinawa tertawa, memecah lamunan Lyora.
"Apanya yang lucu?" Lyora bertanya dengan nada sinis.
"Tidak apa-apa, aku hanya mengingat saat kita belum menikah dulu, kita pertama kali berbicara lama ketika di kebun. Saat aku mengikutimu, sampai aku menyatakan cinta padamu," Abinawa kembali tertawa, mengingat betapa konyolnya ia saat itu.
"Tidak lucu."
"Karena kamu tidak menganggap itu lucu. Bagiku itu lucu, kenangan yang sangat lucu," Abinawa dengan senyum berserinya menatap mata Lyora.
Melihat Lyora yang hanya menatap sinis padanya, Abinawa melanjutkan, "kamu tahu bagian mana yang paling aku sukai saat itu?"
Pandangan Lyora beralih ke Abinawa, ingin mendengar jawaban darinya.
"Ketika kamu melemparkan bunga padaku," Abinawa kembali tertawa seperti orang gila. "Bunganya kubawa pulang, tetapi sayangnya bunganya menjadi layu sekarang. Tetapi masih ku simpan, tahu. Sekalipun bunga itu kering, layu, kelopaknya gugur tak bersisa pun aku akan tetap menyimpannya. Karena itu bunga pertama yang kamu berikan padaku."
"Orang gila," akhirnya Lyora bisa mengatakan hal itu secara langsung pada Abinawa. Ia mengembalikan guling di pangkuannya ke tempat semula. Di tengah-tengah kasur mereka. Lyora beranjak untuk berbaring, ingin segera tidur setelah percakapan membosankan bersama Abinawa.
"Mengantuk?" Abinawa bertanya hal yang sudah jelas jawabannya. Membuat Lyora hanya diam saja, malas untuk menjawabnya.
Abinawa ikut berbaring di samping Lyora, tetapi ketika ia ikut berbaring, Lyora justru berbaring menyamping, membelakanginya. Abinawa hanya tersenyum, melihat Lyora berbaring di sampingnya meskipun hanya bisa melihat punggungnya sudah membuat Abinawa senang.
"Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku saat itu, Lyora. Aku berkata dengan jujur dari hatiku yang terdalam," Abinawa yakin Lyora masih belum tertidur, ia melanjutkan perkataannya.
"Aku mencintaimu, Lyora."
Sebelum Abinawa ikut menutup mata, ia berucap sekali lagi. "Abinawa mencintai Lyora."
***
Lyora be like: sorry ye, tidak menerima janji manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Mission: Love
RomanceON GOING Di mata Abinawa, Lyora adalah berlian diantara kepingan perak. Lyora adalah bulan diantara miliaran bintang. Lyora adalah bunga mekar di padang tandus. Permintaan terakhir sahabatnya mewujudkan impiannya untuk menikahi Lyora. Meskipun hanya...