BAB 4

861 134 13
                                    

Tak ada tanda keramaian ketika mentari telah beranjak menuju seperempat laskar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak ada tanda keramaian ketika mentari telah beranjak menuju seperempat laskar. Jalanan masih terlihat begitu sepi, mengarah ke pegunungan yang memang cukup jauh dari bisingnya dunia bisnis yang terpusat pada distrik yang tak pernah mati di kota. Namun, bisingnya tak sampai ke arah sekolahan yang tampaknya telah memulai pembelajaran.

Halte terlihat sepi membiarkan angin berkeliaran menyapa setiap benda yang dilewatinya. Besi yang tampak dingin, salju yang masih menggunung di beberapa sisi jalan dan ranting tanpa daun. Musim dingin terlihat begitu jelas dan mungkin akan berakhir beberapa bulan dari sekarang.

Seharusnya penerimaan siswa baru di sekolah bergengsi itu ramai sejak pagi, tetapi peraturan berubah ketika kepala sekolah baru datang. Hanya ada keramaian di jam istirahat untuk menawarkan lebih dari 13 klub yang membutuhkan anggota baru. Sangat sepi hingga suara bus dari kejauhan terdengar, melaju dengan kecepatan 30 meter perjam karena jalanan yang licin.

Bus itu berhenti tepat di halte depan sekolah, menurunkan satu pemuda yang mengenakan seragam musim dingin cukup rapi dan tas ransel hitam yang dibiarkan terlampir pada bahu. Pandangannya mengedar sejenak sebelum ia menunduk dan duduk pada kursi panjang halte yang cukup dingin karena dibuat dari besi.

Helaan napas pun terlihat ketika punggungnya bersandar pada papan iklan dibelakangnya, menatap kosong ke arah jalanan dengan penuh harap. Berharap jika hari ini berakhir lebih cepat tanpa perlu ada tenaga yang terkuras. Iris sehitam jelaga itu memantulkan langit yang tampak mendung, tak memperlihatkan birunya sama sekali.

Ponsel dalam saku celananya tak berhenti bergetar, tanda pesan masuk dan ia mampu menebak siapa pengirimnya. Perlahan, jemarinya terarah untuk menutup nama pada dada kirinya, menutup nama Jeon Jungkook dan berharap orang lain tak melihat dan melupakan wajahnya begitu saja.

Percakapan dengan Ibu nya tak pernah berjalan dengan baik. Bentakan ia terima dan dipaksa untuk melihat diri sendiri melalui cermin. Apa kesalahannya dan apa yang membuatnya terus tak nyaman. Jeon Jungkook tak pernah merasa aman dan nyaman, bahkan di rumah sekalipun. Ia sendiri dan hanya gema dari pikirannya yang begitu berisik.

Seperti kali ini, mungkin irisnya menatap langit seolah mengagumi cuaca pagi ini, tetapi nyatanya pikirannya telah berkelana pada rasa khawatir yang terus mengganggunya ketika alarm tanda masuk sekolah berdenting. Ia tak ingin melewatkan satu hari pun, tak peduli dengan sekolah bergengsi yang dikata oleh orang lain. Menurutnya, sekolah itu tidak lain adalah neraka yang menjelma menjadi tempat pendidikan.

Indera pendengarannya kini menangkap suara bus dari kejauhan, tampaknya ia telah membuang waktu lebih dari lima belas menit membuatnya memilih untuk segera bangkit berharap jika para siswa sibuk untuk hari ini dengan tas ransel yang berada di punggungnya, Jungkook kembali melangkah ke neraka dunia miliknya.

Namun, tampaknya bukan hanya Jungkook yang baru saja sampai di sekolah karena bus yang baru saja melintas menurunkan seorang pria dengan pakaian bebas. Jeans yang menutupi kaki panjangnya serta hoodie yang juga ditutupi oleh jaket denim, senada dengan jeans nya.

Glimpse Of The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang