-"Jika ada yang lebih indah dari senja, mungkin itu kita saat bersama"
-
Peluh keringat sudah membasahi baju mereka, berjalan sempoyongan bak orang yang tidak waras di pinggir jalan. Membawa air minum yang kosong karena isinya telah habis. Memakai kalung nama dari kardus putih dan di indahi dengan nama yang Laksana buat.
Cuaca dinyatakan sudah semakin memburuk, awan yang tadinya cerah kini telah berganti menjadi hitam pekat. Sedangkan mereka dengan pos terakhir masih cukup jauh.
Bahkan di perjalanan mereka terpaksa harus melintasi jembatan yang di sana terdapat bau anyir dari ikan busuk yang sudah mati. Uh, rasanya ingin langsung menghilang tanpa harus melewatinya terlebih dahulu. Namun tetap, meski dalam hati mereka seakan tertekan tetapi berjalan melewati jembatan itu sangat lah mudah.
Nestapa berada di depan Alina, sungguh Nestapa sudah tidak sanggup dengan bau yang ia hirup. Rasanya Nestapa ingin memuntahkan seluruh yang ada di dalam perutnya, namun ia harus coba menahannya.
Hanya butuh waktu lima belas menit untuk melintasi jalan tersebut, akhirnya mereka sudah bernafas normal lagi setelah jembatan itu berhasil di lewati.
Mereka terus berjalan meski banyak orang yang bertanya-tanya sedang apa mereka, sedikit dari warga pun kasihan melihat wajah kelelahan dari mereka yang sudah memelas.
Untuk makan siang, mereka sudah makan siang waktu pemberangkatan menuju pos lima. Bahkan mereka memakannya saat di pinggir jalan.
"Anjir, aing kawas nu edan Bae Madang sisi jalan" Nestapa menoleh saat yang berbicara itu adalah Alina.
"Lah heeh nya, telenges bangat ceuk aing merean Madang sisi jalan" Anagata menanggapi.
"Udah, cepet makan" Nestapa menengahi percakapan mereka. Namun tidak berlaku untuk Permana yang tetap mengoceh tidak jelas.
Menu makan siang ini adalah sayur-sayuran yang di buat menjadi buncis, tidak lupa juga mereka memberikan sambal serta cabai di sana. Lantas Nestapa bertepuk senang melihat menu yang sekarang adalah makanan favorit nya di rumah.
Anagata memakan dengan begitu lahapnya, tidak lupa juga Anagata menyuapi suapan pertamanya untuk Nestapa. Bukannya mereka terlalu sosweet makan berdua,suap-suapan serta lesehan di pinggir jalan?
Alina nampak membuang-buang cabai merah yang ada di buncis itu, Nestapa yang melihatnya lantas menghentikan aksi yang di buat Alina itu, "Dari pada di buang, lebih baik biar aku yang makan."
"By, pedes loh" Anagata menegur.
Bukan Nestapa namanya jika dirinya nurut dengan kritikan kecil tersebut, Anagata hanya menggelengkan kepalanya pasrah.
"Kalo sakit perut itu ulah kamu sendiri" ujar Anagata merajuk.
Nestapa mengurungkan niat nya lagi untuk memakan cabai yang telah Alina kasih, dari pada kualat sebaiknya Nestapa menurut dengan Anagata. Tanpa persetujuan pun Nestapa langsung menyuapi makanan terakhirnya untuk Anagata. Meski Anagata merasa kenyang, tetap saja Anagata tidak punya banyak hati untuk menolak pemberian pujaan hatinya itu.
Meskipun berjalan tertatih-tatih syukurnya mereka sekarang sempat datang di pos terakhir.
Nestapa menekan tangan Anagata kencang, melihat itu Anagata pun langsung peka terhadap apa yang Nestapa rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Anagata [END]✓
Roman d'amour"Masa yang tidak akan terlupakan adalah masa "Putih abu" yang dimana aku bertemu kamu di Pramuka dan membuat kisah yang abadi di dalam cerita ini" - Nestapa Auralyn 17022023