01. Beginning

711 57 55
                                        

— INTERLOCKED —

"Kenapa harus sedih? Kan sudah patah dan hancur sejak kecil."

Pagi ini tampak mendung, gumpalan awan kelabu membuat orang-orang yang akan beraktifitas mendengus kesal akibat cuaca tak bersahabat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini tampak mendung, gumpalan awan kelabu membuat orang-orang yang akan beraktifitas mendengus kesal akibat cuaca tak bersahabat. Tiupan angin terasa menusuk-nusuk kulit, daun-daun berguguran, rontok dari rantingnya akibat terus di sapu angin. Pagi ini dua kali lipat lebih menyebalkan dari sekedar cuaca mendung bagi seorang perempuan yang tengah berjalan santai menuju sekolahnya, pagi-pagi sekali perempuan itu sudah mendapat amukan dari Mama tirinya. Belum lagi sebuah tamparan pada pipinya yang meninggalkan bekas kemerahan, sungguh sial rutuknya.

Perempuan dengan rambut sebahu yang diurai bebas melirik langit yang kian menggelap, beralih menatap jam yang melingkar rapi di pergelangan tangan. Matanya membelalak lebar kala jam digitalnya menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit, sedangkan gerbang akan ditutup pada pukul tujuh lewat empat puluh menit. Hanya tersisa waktu lima menit untuk ia bergegas menuju sekolah, sialnya ia berjalan kaki kali ini.

Rachel mengacak-acak rambutnya frustasi, "bangsat! Sial banget hidup gue."

Ia segera berlari secepat yang ia bisa, menerobos puluhan pejalan kaki yang berjalan di trotoar, dan menyeberangi jalan raya yang dipenuhi lautan kendaraan. Keringat mengucur deras membasahi pelipisnya, poni yang sudah ia tata sebelum berangkat ke sekolah kini terlihat lepek disebabkan oleh keringat.

Suara klakson motor mengagetkan dirinya yang fokus berlari pada jalurnya, ia memejamkan mata meredam perasaan marah serta kesal secara bersamaan, tungkainya yang berayun dengan cepat kini berhenti melangkah. Seorang laki-laki yang diduga mengagetkan dirinya berhenti bersama motor besar tepat di sebelahnya.

Laki-laki dengan sorot mata tajam serta manik berwarna hitam kelam itu menyorot perempuan yang baru saja ia kagetkan.

"Sorry, gue nggak se—"

Ucapan laki-laki itu dipotong begitu saja, Rachel menatap tak suka laki-laki yang mengenakan almamater serupa dengan yang ia gunakan.

"Maksud lo ngagetin gue apa, hah?!" tanyanya setengah berteriak. "Ngajak ribut lo? Lo pikir gue nggak kaget?" ujarnya lagi, menyalurkan kekesalan.

"Lo tetangga gue, kan?" tanya lelaki itu penasaran. Perempuan di hadapannya ini sungguh tak asing.

"Hah..., emang iya?" Intonasi suara Rachel tak sekeras tadi. Dahinya membentuk kerutan halus tanda dirinya kebingungan. Semulanya ia merasa kesal kini berganti menjadi penasaran.

Laki-laki itu mengedikkan bahu, "naik cepat, lo siswa baik, nggak boleh telat."

Rachel memicingkan mata, ia bersedekap dada, menatap lelaki yang baru ia temui dengan angkuh. "Lo nggak mau nyulik gue kan? Atau..., lo bakal ngejual organ tubuh gue?"

Laki-laki itu mendengus kesal, meraup wajah perempuan menyebalkan itu dengan tangannya, membuat sang hawa menggerutu sebal. "Nggak usah banyak tanya, bisa? Kita udah telat, sekarang coba liat udah jam berapa?" perintah lelaki itu sambil menunjuk jam digital berwarna putih yang melingkar manis di tangan kecil Rachel.

INTERLOCKEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang