— INTERLOCKED; —
"Terlalu sakit untuk diingat, hanya bisa berharap semua ingatan itu menghilang bersamaan dengan ragaku yang kian menghilang."
Tiap langkah yang terus dipacunya dengan cepat, menyiratkan kebahagiaan yang ingin segera ia utarakan. Senyumnya merekah ruah seperti buket bunga pada dekapannya. Di bawah sorot teduh sang mentari yang hendak mengakhiri peran, perempuan itu terlihat mencolok di tengah lautan manusia. Rambutnya ia biarkan melambai bebas mengikuti kemana angin hembuskan, keringat yang mengucur pada pelipisnya tak melunturkan sedikitpun senyumnya.
Sore ini, tak seperti sore-sore sebelumnya yang hanya Rachel lalui begitu saja. Ia ingin segera tiba di rumah, menyampaikan kabar bahagia sembari mendengarkan kata-kata pujian dari orang rumah.
Bian, lelaki itu hanya tersenyum tipis, berjalan pelan di belakang perempuan itu. Hingga langkahnya berpisah, Bian masih dapat merasakan bagaimana hangatnya senyum pada bibir ranum Rachel. Bian terdiam di depan pagar rumahnya, menatap lekat sang hawa yang melambaikan tangan sembari menutup pagar.
Rachel dengan cepat membuka satu persatu sepatu yang ia kenakan, mengetuk pintu utama rumahnya, tanpa jawaban dari balik sana ia segera membuka pintu itu tanpa dipersilahkan. Masih dengan berbagai bunga dalam rengkuhan-nya, ia berlari kecil menuju ruang makan, dimana rungunya mendengar gelak tawa di sana.
Tiga kepala yang tengah berbincang riang spontan menatap ke arahnya, senyumnya semakin merekah, segera menghampiri tanpa memikirkan sedikitpun tentang sebuah penolakan yang sejak dulu ia dapati.
Rachel menarik satu kursi kosong, meletakkan bunga-bunga itu di bawah meja makan beserta tas yang semula ia sandang. Aroma masakan yang terhidang di atas meja membuat Rachel terkesima. Apakah ini semua disiapkan untuk dirinya?
Kemudian Rachel memperhatikan empat buah piring yang ditelungkupkan di atas meja, di hadapan kursi masing-masing. Namun mengapa tak ada satu piring pun yang berada di hadapannya? Ah, Rachel tak memperdulikan hal itu sekarang, ia ingin cepat memberi tahu kabar baik kepada papanya yang entah sejak kapan mulai menyantap makanan diikuti oleh Dira dan Arsya.
Rachel melipat kedua tangannya di atas meja, memperhatikan lamat papanya yang menyantap makanan. "Pa, aku berhasil masuk final, loh," ujarnya girang. "Papa tau? Aku juga dapat banyak buket bunga dari teman-teman, mereka bilang, mereka bangga sama aku. Papa nggak mau bilang bangga juga ke aku?" tanyanya.
Rachel menghela napas panjang, tertawa kecil melihat papanya tak menanggapi sedikitpun ceritanya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Dira, lalu menatap kembali berbagai macam hidangan yang tersedia. "Ma, piring ku nggak ada, ya?" Dira hanya menatap sekilas, kemudian kembali melanjutkan suapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
INTERLOCKED
Teen FictionSayatan luka yang merubah rangkaian kata menjadi cerita indah pada tiap lembarannya, namun tersirat rasa sakit pada masing-masing kalimat yang telah ditata dengan manis. Sebuah kisah tentang mereka yang tumbuh dengan luka, dipertemukan oleh takdir s...