7. Olympic Day

206 31 6
                                        

INTERLOCKED

"Pelangi setelah hujan itu nyata, namun tak semua hujan setelahnya timbul pelangi."

Deru napas terdengar menyesakkan, degup jantung berpacu cepat seakan-akan tak mau kalah dengan jarum jam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Deru napas terdengar menyesakkan, degup jantung berpacu cepat seakan-akan tak mau kalah dengan jarum jam. Keringat dingin mengucur tanpa diminta, tangan-tangannya gemetaran hebat kala dirinya berhasil menjawab 100 soal dengan sempurna. Ia lolos, ia berhasil menuju babak final yang akan dilangsungkan tiga hari lagi. Tak henti-hentinya ia mengucap syukur, tak menyangka jika ia tinggal selangkah lagi untuk membawa pulang kemenangan selanjutnya.

Matanya menyipit, senyum manis penuh kemenangan terpatri indah pada wajahnya. Ia melambai girang pada beberapa orang yang menunggu dirinya di kursi penonton, tiga orang di sana tak kalah girang menyambut dirinya dengan utas senyum hangat penuh kebanggaan. Ketiganya bergegas mengayun tungkai menuju si perempuan, melempar kata-kata apresiasi, atau memberi pelukan hangat.

"Selamat Rachel, kamu berhasil lagi dan lagi," ujar Bu Lilis, guru intensif nya selama ini. Pelukan kecil dari Bu Lilis membuat senyumnya semakin mengembang dalam dekapan tersebut.

"Kemampuan kamu memang tidak perlu diragukan lagi, selamat ya," ujar Bu Azmi tak mau kalah memberi apresiasi.

Rachel tertawa kecil menatap kedua guru yang selama ini selalu membantunya secara bergantian, kemudian mengangguk malu merasa pujian tersebut terlalu berlebihan.

Setelahnya Rachel beralih pada laki-laki yang berdiri berdampingan dengan kedua guru tadi, senyum laki-laki itu tak kalah berseri dari kedua gurunya. Laki-laki itu merentangkan tangan, disambut sebuah dekapan erat dari Rachel, tak percaya jika lelaki itu menepati janjinya beberapa hari lalu.

"Biar aku aja yang datang nemenin kamu tanding, nggak usah berharap sama papa," ucap laki-laki itu beberapa hari lalu. Rachel tak berpikiran jika laki-laki itu akan datang ditengah-tengah kesibukannya.

Evan mengusap lembut pucuk kepala Rachel, menyisir lembut helaian rambut Rachel yang diurai bebas. Rachel menenggelamkan wajahnya pada dada bidang yang lebih tua, detak jantung Evan dapat ia dengar dengan jelas. Bu Lilis dan Bu Azmi hanya menatap diam interaksi adik kakak itu, masih dengan senyum yang sama, senyum keibuan penuh kehangatan yang didambakan siapa saja.

Rachel melepas perlahan dekapan itu, mengusap sudut matanya yang entah sejak kapan dibasahi oleh air mata. Evan menangkup wajahnya, tertawa kecil akibat melihat matanya memerah menahan tangis.

"Kamu berhasil, usaha kamu nggak sia-sia Chel, tinggal satu langkah lagi. Congratulations, I'm proud of you. Kamu hebat banget tadi." Rachel lagi-lagi tersenyum, pupil matanya bergetar, matanya merah berkaca-kaca.

Rachel tertawa kecil bersamaan dengan setetes buliran bening meluruh dari pelupuk matanya. Ia menoleh menatap kedua gurunya, senyum mereka tak luntur sedikitpun saking bangganya. Bu Lilis merentangkan tangannya kembali, Rachel terkekeh pelan menyambutnya sembari menarik Bu Azmi untuk turut bergabung.

INTERLOCKEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang