— INTERLOCKED —
"Pulang kemana? Rumah ku sudah hancur."
Rembulan berganti posisi dengan sang mentari, langit sisi timur, tempat sang mentari terbit dihiasi oleh warna merah serta oranye. Burung berkicau di atas kawat bersama gerombolannya, embun pagi hari menghiasi daun-daun serta jendela yang membuatnya menjadi buram.
Rachel menuruni satu persatu anak tangga, menuju meja makan di mana keluarganya akan menyantap sarapan yang sudah disajikan oleh Dira; Mama tirinya.
Getaran masing-masing anak tangga menggema hingga ke sudut ruangan akibat langkah kakinya yang malas, tiga kepala yang sudah berkumpul di meja makan menatap Rachel dengan tajam.
"Jalan yang bener, jangan kayak orang malas," celetuk Angga selaku kepala keluarga.
Rachel hanya melirik sekilas ke arah papanya, kemudian menarik satu kursi kosong di sebelah Abangnya yang sejak tadi menatap diam.
"Kamu ngapain aja semalam, kak? Liat kantung mata kamu itu semakin tebal, begadang lagi?" tanya Dira membuat Rachel berhenti menenggak minumnya. Mama tirinya itu benar-benar pandai berpura-pura baik.
"Iya," ketusnya sembari mengoleskan selai kacang di atas roti. "Aku belajar, bukan ngelakuin hal-hal yang nggak berguna seperti yang kalian kira," lanjutnya seakan ngerti ketika melihat bibir Papanya akan melempar protes.
Angga manggut-manggut sembari meminum secangkir kopi yang baru saja Dira hidangkan. "Baguslah, tingkatkan lagi kemampuan kamu. Olimpiade kali ini jangan sampai lengah dan gagal," tegasnya.
Rachel menunduk, menghentikan gerak tangannya yang sedang mengoleskan selai kacang, hembusan napas panjang terdengar samar-samar. "Pa, kalau misalkan kali ini gagal, gapapa?"
Angga terdiam sejenak, berhenti mengunyah sepotong roti yang akan masuk ke tenggorokannya. "Apa yang bikin kamu sampai nggak percaya diri?"
Rachel menunduk memainkan jari-jemarinya di bawah meja makan, perasaan gugup melanda dirinya saat bibir mungil itu berhasil melempar keluhan yang selama ini ia risau kan. "Aku merasa jenuh belakangan ini, aku capek terus-menerus papa suruh ikut olimpiade. Aku nggak menguasai semua bidang pa," keluhnya dengan suara pelan dalam satu tarikan napas.
"SELAMAT PAGI!" Suara sapaan diiringi dengan decitan kursi pada meja makan yang kosong menepis keadaan beberapa menit lalu yang sempat menegang.
"Selamat pagi juga sayang," balik sapa Angga kepada anak bungsunya dengan satu kecupan hangat pada pucuk kepala si bungsu.
Rachel hanya diam menatap interaksi hangat Angga dan Dira yang diberikan kepada si bungsu. Evan, si sulung melakukan hal sama seperti yang Rachel lakukan, lalu melihat Rachel yang berada di sebelahnya.
"Udah, nggak usah di liatin, perasaan iri kamu makin besar nanti," imbuh si sulung kembali melanjutkan suapannya.
Rachel mengangguk kecil, namun kedua netranya tak bisa beralih menatap objek lain seakan-akan menyuruhnya untuk terus menatap kehangatan di hadapannya yang memunculkan perasaan iri.
KAMU SEDANG MEMBACA
INTERLOCKED
Teen FictionSayatan luka yang merubah rangkaian kata menjadi cerita indah pada tiap lembarannya, namun tersirat rasa sakit pada masing-masing kalimat yang telah ditata dengan manis. Sebuah kisah tentang mereka yang tumbuh dengan luka, dipertemukan oleh takdir s...