Sayatan luka yang merubah rangkaian kata menjadi cerita indah pada tiap lembarannya, namun tersirat rasa sakit pada masing-masing kalimat yang telah ditata dengan manis. Sebuah kisah tentang mereka yang tumbuh dengan luka, dipertemukan oleh takdir s...
“Beristirahat dari hiruk-pikuk kehidupan tak selalu berarti tidur sepanjang hari. Terkadang, cukup dengan menyusuri jalan-jalan kota Jogja, berboncengan di atas motor Scoopy milik Abian.”
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suara gesekan kaki kursi yang ditarik memenuhi keheningan pagi ini. Kursi itu diletakkan di hadapan jendela yang terbuka lebar, mengundang angin sepoi-sepoi dan hangatnya cahaya matahari menyusup masuk, mengisi ruang dengan kelembutan pagi. Sejenak, ia berdiri di hadapan jendela, merasakan belaian angin yang menyapu lembut rambutnya yang terurai. Di kejauhan, kicauan burung berbaur dengan deru kendaraan yang sesekali melintas, menciptakan orkestra pagi di kompleks perumahannya.
Tatapannya melayang pada rumah besar di seberang sana, sebuah balkon dengan pintu tertutup dan tirai putih yang belum tersingkap. Ia tahu, di balik tirai itu, sang pemilik kamar mungkin masih tenggelam dalam mimpi, menikmati tidur panjang di pagi hari yang tenang ini.
Rachel perlahan bangkit, menjauh dari jendela. Langkahnya mengarah ke rak buku di sudut ruangan, di mana ia menarik sebuah buku tebal bersampul putih, dihiasi coretan rumus-rumus matematika yang tampak misterius. Musik mengalun pelan, menyertai setiap gerakan pensilnya yang menari di atas halaman-halaman buku. Libur ini akan dihabiskannya dengan belajar, mempersiapkan diri menghadapi final yang menantang esok hari. Malam nanti, ia akan bertemu Bu Lilis untuk sesi intensif, sedangkan sore hari, ia rencanakan untuk berjalan santai mengitari kompleks, merayakan kebebasan sejenak dari semua tuntutan.
Namun tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu di sudut pandangnya. Sebuah pesawat kertas berwarna biru muda terbang meliuk masuk melalui jendela yang terbuka, berputar lembut di udara sebelum mendarat di atas tempat tidur. Rachel terkejut, menutup bukunya perlahan dan meletakkannya di atas nakas. Pandangannya tak lepas dari pesawat kertas itu, hatinya digelitik oleh rasa penasaran.
Dengan langkah ringan, ia mendekati pesawat kertas tersebut, mengambilnya dengan jari-jarinya yang ragu namun penuh rasa ingin tahu. Lipatannya begitu rapi, seolah dibuat dengan penuh perhatian. Rasa ingin tahunya membuncah, membuatnya menengok keluar jendela, mencari tahu dari mana pesawat itu berasal. Ia berjalan ke arah pintu balkon lalu dibukanya dengan lebar, membiarkan sinar matahari pagi menyusup masuk dengan lembut. Di balkon seberang, ia menemukan Bian berdiri di sana dengan senyum tipis pada bibirnya.
“Selamat pagi,” sapa Bian, suaranya hangat menembus udara pagi. Rachel tak mampu menahan senyumnya yang perlahan merekah. “Pesawatnya mendarat dengan baik, nggak? Takutnya nyasar,” katanya dengan tawa kecil yang menular.
Rachel mengangkat pesawat kertas itu, senyumnya makin lebar. “Dari lo?” tanyanya, setengah tak percaya.
Bian mengangguk. “Coba buka lipatannya. Ada yang gue tulis di sana,” ujarnya, membuat rasa penasaran Rachel semakin membuncah.