— INTERLOCKED —
"Manusia jauh lebih berisik dari pada rintikan hujan di malam hari."
Rintik demi rintikan air dari sang langit turun membasahi bumi tanpa diminta. Orang-orang yang berjalan di sekitar trotoar perlahan mempercepat langkah kala hujan menerpa tubuh semakin deras. Angin berhembus kencang, pepohonan diguncang hingga dedaunan rontok dan terbang bebas mengikuti hembusan angin.
Bian meringis kecil di bawah derai hujan yang semakin lebat, luka-luka di sekitar tubuhnya semakin berdenyut nyeri akibat diterpa hujan. Ia berjalan gontai di tengah-tengah lautan manusia yang berlari kencang mencari tempat untuk berteduh, sedangkan dirinya terlihat pasrah dengan tubuh yang semakin basah, tak ikut serta berteduh seperti yang dilakukan orang-orang.
Sore ini Bian memilih untuk pulang, ia merasa tubuhnya tak perlu dirawat terlalu lama di rumah sakit, toh sudah biasa dengan luka-luka yang serupa. Di rumah sakit, tersisa Rachel bersama salah satu teman Zyan, seingatnya lelaki itu bernama Sajuan. Awalnya Bian berniat pulang setelah Zyan sadar, namun pujukan dari Juan berhasil membawa langkahnya kembali ke rumah.
Zyan masih tertidur lelap, tak kunjung membuka kedua matanya seakan begitu penat dengan kehidupan. Bian tak tahu pasti apa yang terjadi pada Zyan, sebab Rachel ataupun Juan tak ada yang ingin membuka suara. Yang jelas, kondisi Zyan tak sebaik pikirnya. Hidung Zyan ditempeli dengan nasal cannula, bibir laki-laki itu pucat pasi sedikit pecah-pecah, mulutnya tak terkatup rapat meski tengah tertidur seakan benar-benar sulit untuk mengambil napas.
Kedua tungkai kaki Bian yang melangkah pelan seperti menantang rintikan hujan, kini berhenti melangkah akibat keraguan. Rumah megah berwarna putih bersih dengan pintu utama yang tertutup rapat, berdiri kokoh di hadapannya. Ia ragu, antara melangkah masuk atau beralih pergi ke suatu tempat, berat rasanya memijakkan kaki di rumah megah tersebut.
Tapi, jika tak kembali ke rumahnya, ia harus pulang ke mana lagi? Ia terlampau lelah untuk kembali membawa kakinya berlari sejauh mungkin meninggalkan tempat yang harusnya ia sebut sebagai rumah, lebih baik ia mati di rumah sendiri daripada harus terkapar mengenaskan di tepi jalan akibat kelelahan.
Hembusan napas berat terdengar samar-samar menyesakkan, kepalan tangannya mengambang ragu untuk sekedar mengetuk pintu atau menekan bel rumah tersebut. Tubuhnya menggigil menahan sejuknya terpaan angin di tengah hujan, rasa perih pada lukanya menjalar nyeri ke tiap inchi tubuhnya.
Dua kali ketukan, berhasil ia berikan pada pintu kayu di hadapannya. Tak lama terdengar suara kenop pintu yang diputar, salah satu kakak laki-lakinya keluar dari balik sana, menghalangi pintu seakan tak memberikan dirinya lewat. Jevan, menatapnya dengan tatapan yang susah untuk ia cerna, antara membenci atau merasa iba.
KAMU SEDANG MEMBACA
INTERLOCKED
Novela JuvenilSayatan luka yang merubah rangkaian kata menjadi cerita indah pada tiap lembarannya, namun tersirat rasa sakit pada masing-masing kalimat yang telah ditata dengan manis. Sebuah kisah tentang mereka yang tumbuh dengan luka, dipertemukan oleh takdir s...