5. Bulan Dan Kirananya

222 39 27
                                    

INTERLOCKED

"Laut itu sama seperti manusia, namun tidak dengan pikirannya yang birisik layaknya sapuan ombak dingin
dimalam hari."

Langit-langit kamarnya yang dicat berwarna putih terang, menjadi lingkaran objek yang ia tatap sebagai renungan sejak tubuh lelahnya ia baringkan di atas kasur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit-langit kamarnya yang dicat berwarna putih terang, menjadi lingkaran objek yang ia tatap sebagai renungan sejak tubuh lelahnya ia baringkan di atas kasur. Sunyi, tak ada satupun gelombang suara yang berdesakkan memasuki rungunya. Tubuhnya yang terasa nyeri, ia nikmati seperti sebuah pelukan hangat dari sang semesta. Tubuhnya seolah mati rasa, ribuan luka fisik yang terus-menerus menghantam tubuhnya seolah angin lalu tak meninggalkan bekas.

Suara pintu yang dibuka dengan kasar menyentak lamunannya, kepalannya spontan mengarah ke asal suara. Bian mendengus kesal menatap Revan berdiri pada ambang pintu. Seperti biasa, tak ada ekspresi pada wajah laki-laki itu, hanya datar seperti tak memiliki perasaan.

"Apa?" tanya Bian. Ia duduk pada tepi kasur, menatap Revan tak kalah sengit. "Lo mau bikin gue kena masalah lagi? Lo masih belum puas, ngeliat gue dipukulin ayah, bang?"

Revan menutup pintu kamar Bian yang semula ia buka dengan kasar. Lalu ia melangkah lebih dalam, menelusuri kamar bernuansa putih abu-abu itu. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana, wajah tanpa ekspresi itu terlihat menyedihkan kali ini, ditambah dengan tatapan kosong seolah memikul ribuan beban berat pada bahunya.

Revan menyeret kursi belajar Bian untuk ia duduki. Sikap kakak laki-lakinya itu membuat Bian was-was, bisa saja setelah ini Revan melemparinya dengan tumpukan buku di atas meja sana.

Benar saja, baru beberapa detik lalu Bian mengucapkan kata-kata waspada pada dirinya sendiri, satu buah buku tebal melayang ke arahnya. Tak sempat menghindar, buku tersebut terkena dada kanannya yang kebetulan memiliki bekas memar di sana.

Ringisan kecil terdengar samar-samar menyambut rungu Revan. Ia tersenyum miring, lalu menghadap Bian yang mengelus pelan dadanya. "Sakit?" tanyanya dengan lembut.

Bian berdecih, melempar balik buku tersebut, namun tak mengenai sedikitpun tubuh Revan. "Niat lo ke sini sebenarnya ngapain? Lo nggak capek ribut terus?"

Revan tertawa kecil, mengayunkan pelan tungkainya ke arah Bian yang duduk pada tepi ranjang tidur. "Gue nggak akan berhenti buat masalah, selagi lo masih ada di rumah ini," bisiknya tepat di sebelah telinga Bian.

Dengan gerakan cepat, satu pukulan menghantam pipi kanan Bian. Tubuhnya ambruk di atas kasur. Kaus hitam yang Bian kenakan, Revan cengkram dengan erat hingga sang adik kembali duduk menghadapnya. Kedua pasang mata penuh amarah tersebut beradu sengit.

Revan menunduk, cengkraman erat pada kerah baju Bian perlahan mengendur. Revan terduduk tepat di hadapan Bian, menenggelamkan wajahnya pada kedua lutut yang ia tekuk. Setelahnya punggung laki-laki itu bergetar hebat, entah ia menangis atau bukan, yang jelas tak terdengar sedikitpun suara tangisan.

INTERLOCKEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang