Jejak 06 : Suralaya

72 18 20
                                    

"Selamat datang di Suralaya, Yang Mulia."

Suralaya. Yang Mulia. Siapa yang perempuan ini makseud? Bukan dirinya karena seingat Maya dia keturunan orang biasa-yah, walau kedua orang tuanya serupawan bangsawan. Aneh sekali.

"Ini ... di Suralaya?"

Puan Triasih mengangguk sopan. Senyumnya senantiasa terbit, matanya berbinar memperhatikan Maya, dan tangannya terlipat sopan di depan perut khas abdi dalam. "Betul, Yang Mulia. Saat ini kira berada di Dataran Barat, pesisir paling jauh dari ibukota."

"Dataran Barat? Ibukota?" Maya memijat kepalanya sejenak. Sebentar, informasi yang diterima cukup memusingkan. "Saya bukan Yang Mulia, tolong berhenti panggil saya seperti itu."

"Tidak bisa, Yang Mulia."

"Kenapa? Saya baru sampai di sini dan bahkan sama sekali tidak—" Maya melirik Malakai dan Miro yang memandangnya penasaran. "Ibu–maksud saya, Puan Triasih, boleh kita bicara empat mata?"

"Boleh, Yang Mulia." Puan Triasih mengangguk takzim lalu menatap Miro dan Malakai penuh isyarat. Kedua lelaki itu keluar setelahnya. "Apa yang hendak anda bicarakan dengan saya, Yang Mulia?"

"Kenapa saya dipanggil Yang Mulia? Saya bahkan sama sekali tidak tahu Suralaya sampai tiba di sini."

"Saya mengerti, wajar jika anda tidak tahu satu pun hal mengenai negeri ini." Puan Triasih merangkul Maya lembut, menggiringnya duduk di sofa beralaskan kulit domba secara halus. "Kakek anda, Yang Dipertuan Agung-lah yang meminta kami-para pengabdi untuk merahasiakan dari keturunannya. Sebetulnya dilarang untuk menyebut nama beliau, tapi mengingat hal ini mendesak maka saya terpaksa mengatakannya. Nama beliau adalah Benggala Suralaya, raja terakhir di Suralaya sebelum akhirnya negeri ini terpecah belah akibat perang saudara."

Benggala. Itu nama kakeknya. Tapi orang bernama Benggala tidak hanya satu. Maya masih curiga.

"Petunjuk lainnya, Yang Dipertuan Agung punya seorang putri bernama Sri Agung Kenanga Suralaya. Sebelum meninggalkan negeri ini, Sri Agung Kenanga Suralaya menikah dengan Timira atau orang asing di luar Suralaya bernama Mandala. Dari pernikahan itu lahir seorang putri yaitu anda, Senaya Malahayati."

Maya tercekat. Jika boleh dilebihkan, napasnya terhenti sesaat. Sejarah keluarganya dibongkar habis. Kalau semua ucapan Puan Triasih karangan, mana mungkin bisa menebak namanya padahal mereka baru hari ini bertemu? Tidak ada pengenal atau hal lain yang berisi informasi dirinya dari barang yang dibawanya.

"Kalung anda," Puan Triasih menambahkan. "Kalung itu adalah simbol keluarga kerajaan yang sah, Yang Mulia. Dulu kalung tersebut dimiliki ibu anda, namun karena beliau sudah menikah kini diturunkan kepada anda selaku penerusnya."

"Jadi, kakek saya dulunya ... raja?"

"Masih, jika perang saudara itu tidak terjadi." Air muka Puan Triasih berubah muram. Matanya berair seolah menyiratkan kesedihan mendalam. "Saat itu seluruh negeri di ambang kehancuran dan ketakutan. Baik bangsawan pun rakyat biasa tidak berkutik. Banyak korban jiwa dan bencana di mana-mana dalam waktu berdekatan. Akibatnya, Yang Dipertuan Agung terpaksa mengambil keputusan penuh risiko."

Maya menatap Puan Triasih penuh keingintahuan juga kengerian.

"Mereka harus pergi demi kelangsungan keturunan kerajaan. Jika waktunya tiba dan keadaan lebih tenang, mereka kembali merebut tahta yang seharusnya."

"Tapi menurut saya, hal itu gak adil untuk rakyat biasa. Mereka semua dalam kesusahan sementara pemimpinnya kabur."

"Memang awalnya banyak pertentangan. Sebagian besar rakyat yang tidak setuju membelot ke pihak musuh, sisanya ikut menemani Yang Dipertuan Agung dan menetap di Dataran Barat juga Sungai Timur demi membangun kekuatan."

S U R A L A Y A | Ryujin - Lino (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang