12. The Father

597 56 1
                                    

Di hari ketiga Zeke pulang, pria itu akhirnya makan malam bersama dan secara otomatis membuat suasana menjadi begitu canggung. Papa mereka yang memang tidak lagi bisa beraktivitas karena stroke yang dideritanya membuat kepala keluarga di meja makan tersebut adalah Gwen sendiri. Tahta paling tinggi di rumah itu adalah Gwen saat ini, dan papa mereka dirawat oleh dua perawat khusus yang bergantian selama 24 jam.

"Kenapa? Apa yang aneh di wajahku?" tanya Zeke.

"No, Brother! Nggak perlu kaku begitu, silakan makan. Kita nikmati makan malam hari ini sama-sama."

Zaland yang memang tidak sekaku kakak dan adiknya bisa mencairkan suasana. Mereka mampu makan malam dengan tenang juga karena Zaland yang pandai membangun pembicaraan tanpa menyindir Zeke yang memang baru memperbaiki hubungan dengan mama mereka tiga hari ini.

"Kopi?" tawar Zaland pada Zeke yang merenung di depan ruang keluarga dan menyalakan televisinya.

Padahal Zaland tahu kakaknya itu tidak sedang fokus menonton televisi, melainkan sibuk mengamati nomor Jessa di ponsel.

"Thanks, Zal."

Zaland mengangguk singkat dan ikut duduk di samping Zeke.

"Melototin nomor Jessa nggak akan mengubah keadaan."

Zeke menatap adiknya dengan cepat.

"It's nothing. Cuma kepikiran mau nanya-nanya soal arahan dia ke sekretaris baru."

Zaland tertawa pelan dan menyesap kopinya lebih dulu. "Oke, gue percaya. But, ZK, nggak ada salahnya langsung hubungi Jessa sekarang. I bet she's not busy. Belum ada kabar dari perusahaan lain kalo Jessa kerja lagi, kan? Itu artinya dia di rumah, nggak ngapa-ngapain."

Cukup mudah untuk mempengaruhi Zeke, dan sebagai adik yang sedang berusaha tidak bocor untuk ikut campur mengenai kehamilan Jessa. Ini rasanya benar-benar membuat frustrasi, melihat Zeke yang tidak kunjung bertindak untuk bertanggung jawab atas kehamilan Jessa. Zaland merasa dia harus tahu bagaimana perkembangan hubungan Zeke dan Jessa sekarang. Apakah kakaknya itu memilih untuk bertanggung jawab untuk si bayi tanpa menikahi Jessa, atau mereka sepakat untuk menikah setelah Jessa melahirkan? Zaland ingin tahu, dan Zaland juga heran kenapa Zeke tidak kunjung memberitahu mama mereka mengenai kehadiran cucu pertama keluarga mereka itu.

Zaland memperhatikan ketika Zeke menelepon nomor Jessa. Dia menunggu apa yang akan dibicarakan oleh kakaknya dan perempuan itu di telepon. Namun, ada yang tidak beres ketika kakaknya mulai menunjukkan reaksi tak nyaman. Meski tidak me-loudspeaker panggilan itu, samar-samar Zaland bisa menangkap hal rumit yang terjadi.

"Shit! I call her in wrong time," keluh Zeke setelah menutup panggilan tersebut.

"Kenapa? Kenapa salah nelepon Jessa sekarang?"

"Yang angkat calon suaminya. Pasti calon suaminya marah karena diganggu. Jangan-jangan malah mereka bertengkar habis ini? Kedengerannya calonnya Jessa marah."

Zaland menaruh gelas kopinya ke meja dan berkata, "Wait, wait, wait!"

Zeke menatap adiknya dengan heran karena reaksi Zaland sangat kaget.

"Sebentar! Lo bilang calon suami? Calon suami siapa? Jess?" tanya Zaland.

"Siapa lagi? Yang gue telepon jelas Jessa, lo yang nyuruh, Zal."

Kening Zaland tampak berpadu dengan garis-garis yang jelas. "Yang lo telepon Jessa Nyra, kan? Sekretaris lo, kan?" tanya Zaland lagi.

Zeke mulai berdecak karena kesal. "Iya!"

"Gimana mungkin?!" seru Zaland dengan nyaring.

Kini Zeke yang terkejut dengan reaksi adiknya itu. "Ya, mungkin aja, Zal! Lo kenapa, sih? Kenapa keliatan bingung kalo Jessa punya calon suami? Dia emang udah dikejar-kejar nikah sama mamanya."

Merayu Hati Yang Setia / TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang