[Yuhuuu! Cerita ini aslinya udah tamat, yes. Bisa beli ebooknya bagi pecinta e-book di google playbook. Kalo mau beli bab satuan ada di Karyakarsa kataromchick aku. ❤️]
Jessa tidak tahu sudah berapa lama dirinya tertidur, tapi yang jelas dia sudah tidak lagi menggunakan gaun yang tadi dikenakannya untuk makan malam dengan Kharan. Dia juga menyadari tempatnya tertidur sekarang bukan lagi di mobil atau pun di rumah mamanya. Sekarang dia berada di penthouse milik Zeke lagi. Setelah berhari-hari tidak datang ke sini, suasananya masih sama saja, tidak berbeda. Yaiyalah sama aja, emang mau beda kayak apa?
Secara perlahan Jessa bangun dan memberikan banyak waktu untuk kesadarannya benar-benar pulih kembali. Setelah ini memang dia harus banyak bicara dengan Zeke. Banyak hal yang harus mereka bicarakan, dan meluruskan segala tindakan yang memang akan dilakukan ke depannya.
"Kamu sudah bangun, Jessa."
Suara maskulin milik Zeke itu terdengar saat Jessa memejamkan matanya sejenak untuk meregangkan otot leher.
"Hm. Sudah, Pak."
Ada decakan yang muncul dari bibir Zeke, membuat Jessa sepenuhnya menatap pria itu.
"Saya nggak suka dengan panggilan 'Pak' yang kamu gunakan disaat kita nggak lagi bekerja."
"Tapi saya juga nggak lagi jadi bagian pribadi Bapak, jadi panggilan 'Pak' rasanya lebih masuk akal."
Jessa bisa melihat mata pria itu yang dipejamkan dengan lelah. Sayangnya rasa tak terima Zeke tidak begitu penting saat ini. Toh, pria itu juga tetap mengambil duduk di samping Jessa dan sepertinya ingin mulai membahas banyak hal dilihat dari gesturnya yang siap sedia.
"Kenapa kamu ditinggalin di jalan sendirian?" tanya Zeke.
"Ya, karena kamu telepon! Dia cemburu karena curiga sama kedekatan kita."
Zeke menggeleng pelan. "Nggak seharusnya seorang pria melakukan hal begitu walaupun cemburu. Pria macam apa yang bersikap pengecut meninggalkan perempuan yang dikatakan calon istrinya sendirian."
"Ya, itu karena kamu nelepon disaat yang nggak tepat! Lagian ngapain, sih, kamu nelepon lagi? Aku udah nggak kerja, kenapa malah ditelepon segala?!"
Jessa menggebu-gebu saat mengatakannya. Namun, langsung terhenti dalam sekali gerakan Zeke yang mencengangkan. Pria itu meletakkan telapak tangannya yang besar ke permukaan perut Jessa. Bagaimana bisa rasanya sehangat ini?
"Kamu membawa anak saya. Kamu tidak memberitahu saya bahwa anak saya sedang tumbuh di sini, di perutmu."
Jessa terdiam untuk sesaat. Pembahasan ini terlalu cepat untuk didengar, tapi juga tepat untuk mereka kemukakan. Zeke sudah mengetahui keberadaan anaknya, untuk apa menutupinya lagi?
Namun, tidak puas rasanya jika tidak melakukan satu hal yang Jessa inginkan sejak awal pada Zeke. Yaitu menampar pipi pria itu dengan keras.
Tahu apa yang terjadi? Zeke terkejut hingga tak bisa berkata-kata. Pria itu dengan cepat menoleh pada Jessa dan memberikan pertanyaan, "Kenapa kamu tampar saya?"
"Kamu lupa? Kamu sendiri yang bilang kalo aku nggak boleh hamil. Hamil hanya akan merugikan aku, dan kamu nggak akan menikahi aku meskipun aku mengandung anak kamu. Aku akan rugi karena berusaha memanfaatkan anak ini untuk bisa kamu nikahi dan numpang hidup. Terus sekarang kamu mau pura-pura lupa ingatan dan bilang aku sengaja nggak kasih tahu soal kehamilanku? Apa kamu nggak berkaca dengan kesalahan kamu yang bicara seperti itu, bahkan disaat aku belum tahu kalo lagi hamil?"
Rasa kesal yang menaungi Jessa jelas diluapkan saat ini. Dia sudah menahan-nahan sejak pertama kali mengetahui kehamilannya. Sebenarnya keinginan yang lebih kuat datang untuk menampar Zeke adalah ketika pria itu mencoba menjilat ludahnya sendiri untuk tidak jadi memecat Jessa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merayu Hati Yang Setia / Tamat
RomanceJessa Nyra sibuk mengurus kehidupan atasannya hingga lupa dia juga memiliki kehidupan sendiri. Sudah sepuluh tahun dia bekerja bersama pria yang cuek dan hanya sibuk menyuruh ini dan itu. Di tahun ketujuh, Jessa Nyra mendapatkan kesibukan baru: meng...