Bab 51 : Meeting Friends (Rani)

12 1 0
                                    

RANI POV

Hari demi hari terus berlalu. Sampai saat ini tak ada kejadian buruk menimpa diriku. Semuanya berjalan normal, tetap ada satu-dua konflik yang sempat terjadi namun untungnya semua sudah terselesaikan relatif cepat. Aku masih berteman baik dengan orang-orang yang kukenali dan sering dijumpai saat ini. Kuharap akan seperti ini hingga seterusnya.

Di satu sisi, teman satu kelasku dulu, X IPA-5, bisa bertemu kembali satu per satu di sekolahku ini. Sempat disayangkan bahwa kami harus terpisah ketika naik kelas sebelas SMA karena sudah menjadi aturan di sekolah ini—tunggu, apa nama sekolah ini? Ah, kenapa aku selalu lupa—bahwa siswa reguler akan mendapat kelas baru secara acak tiap kali kenaikan kelas. Namun satu keuntungan yang tidak disadari bagi kami semua adalah, kami dapat mengenal lingkungan sekolah lebih banyak lagi.

Tentu saja teman satu kelas sepuluh yang paling banyak kutemui kembali ialah dari kelas XI IPA-5, seolah dianggap tidak pindah kelas—tetap di IPA-5—dan hanya naik tingkat saja—dari kelas X menjadi XI. Selain Sandi dan Rosiana yang sudah bertemu lebih dulu, ternyata ada dua perempuan dan enam laki-laki lainnya yang pernah sekelas denganku. Itu berarti hampir separuh jumlah teman sekelasku masih ditahan di IPA-5—tidak diacak ke kelas lain.

Bahkan Feno sangat terharu bisa bertemu para sohibnya kembali. Mereka pasti sudah akrab sekali sampai percakapannya memakai bahasa daerahnya.

"Tuman, kowe ngerti nggak sih perasaan awake dhewe?"

"Beh, Peno mulai sombong wisan."

"Eh, nggak ngono cah!" Suara Feno terdengar. "Aku ki ra tau metu kelas soale. Wis lungguh dewean, gak onok sopo-sopo sing ngajak ngomong wisan."

"Terus koncomu Rani karo Yani kowe anggep sopo?" Salah satu temannya Feno menyebut namaku.

"Yo panggah konco, tapi kan dhek e wedok. Aku kerep dolan karo cah wedok ngko dikiro nyapo-nyapo, rumangsamu."

Feno masih sungkan ingin berinteraksi denganku karena aku perempuan. Tetapi aku sendiri justru sering menghampiri Sandi tanpa mempermasalahkan tanggapan orang lain dan perbedaan gender—oh iya, kemana Sandi sekarang? Apa dia menghilang di ruang khusus non-Muslim lagi?

Lalu di kelas XI IPA-4 kami menjumpai dua laki-laki dan tiga perempuan yang sempat satu kelas sepuluh dulu. Dua diantaranya adalah teman yang dekat dengan Yani dan Rosiana.

"Ya ampun! Jadi lo ternyata pindah sini," seru Yani riang setelah bertemu dua temannya. "Kenapa nggak kabar-kabar dari awal gitu? Beh, gue kira kalian udah cuek kek bebek."

"Lo sendiri nggak tau perasaan kita kali ini. Jujur deh, kita bertiga tuh sering dicuekin sama anak-anak sekelas. Gue masih inget ada yang bilang, dia cowok, kalau anak IPA-5 itu rata-rata anak bandel atau bermasalah kek... Duh, please...,"

"Hooh lo. Mana ada teman sekelas kita dulu yang jadi anak berandalan. Mereka-mereka pasti kebanyakan percaya mitos atau keracunan baca cerita anak ABG bikinan bocil. Memangnya kita ini dianggap kelas paling bawah dan terbelakang gitu?"

Aku sendiri geram mengetahui hal itu. Kelas X IPA-5 dulu tergolong sangat unik. Semua siswa dari sejumlah suku daerah dipertemukan. Ada yang punya keyakinan berbeda—Sandi contohnya. Ada yang bilang juga bahwa kelasku punya seorang perempuan yang paling dikenal di hampir seluruh lingkungan sekolah, sampai mengundang rasa tertarik dari kelas 'dewa' XII IPA-1 yang mana itu sangat jarang terjadi mengingat anggapan 'superioritas' di mata banyak orang—tunggu, sepertinya itu merujuk pada orang yang sangat familiar. Eh...

"Ngomongin soal anak berandalan, gue jadi inget Benji, ketua kita—eh, tapi bukan berarti gue nganggep dia anak bermasalah ya. Kira-kira dia itu sekarang ada dimana ya?"

Truth for TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang