Prolog

138 23 74
                                    

•••

Keheningan menyelimuti jalan perumahan kosong yang sama sekali tidak pernah lagi ditempati atau bahkan dikunjungi sejak beberapa tahun lalu. Namun, meski tahu begitu. Hamzah Al-Fatih—laki-laki yang kini memegangi ponsel untuk dijadikan senter tampak terus berusaha masuk lebih dalam ke sana, mencari seseorang yang sejak siang tadi tidak ditemuinya.

Perasaan laki-laki itu campur aduk. Kehilangan, menjadi sesuatu hal yang paling mengerikan dalam hidupnya.

Ia tidak mau kehilangan untuk yang kedua kali, alasan itulah yang membuatnya nekat berada di sini. Meski tahu, ada banyak bahaya yang sedang mengintainya. Bahwa dia mengetahui jika bekas perumahan ini adalah markas persembunyian orang-orang berbahaya.

"Dasar keras kepala," ucapnya pelan, sesekali melirik jam di pergelangan tangan. Waktu menunjukkan pukul satu lebih lima belas menit malam.

Jalan becek akibat hujan yang tak henti mengguyur sejak siang tadi tentu sedikit memperlambat langkah kakinya. Namun, ia sama sekali tak memerdulikan itu.

"Kalau sampai terjadi sesuatu, kamu buat aku harus merasa bersalah seumur hidup, Fa. Jadi, tolong pintarlah sedikit setelah aku menemukanmu nanti!" lanjutnya sekali lagi.

Namun, kemudian langkahnya tiba-tiba terhenti saat mendengar suara samar seseorang.

"Ayo bertahan, aku pasti bisa bawa kamu keluar. Jangan ke mana-mana atau aku nggak akan bisa memaafkan diri sendiri..."

Laki-laki itu menoleh ke segala arah, pendengarannya dipertajam untuk memastikan bahwa dia tidak salah.

"Arah barat." Tanpa membuang waktu, dia melangkah menuju sumber suara tadi.

Akan tetapi, baru beberapa langkah kaki, seseorang menahannya dari belakang. Bertepatan saat matanya menangkap sosok yang sedari tadi dicari tengah meringkuk karena pistol yang ditodongkan di kepalanya yang tertutup hijab.

Tidak salah lagi, ini adalah perangkap.

***

"Bagaimana? Apa sekarang kamu sudah menyerah, hm?" Suara seorang laki-laki memenuhi telinga perempuan yang kini meringkuk tidak bisa mengucapkan apa-apa.

Mulutnya disumpal. Namun, di dalam hatinya terus memberi sumpah serapah dan doa buruk untuk orang yang berada tepat di belakangnya.

Sungguh! Perempuan itu juga tidak tahu bagaimana bisa sampai di tempat ini. Ia hanya duduk di kursi roda seperti biasa, di tempat yang menjadi favoritnya. Hingga tidak lama, bau aneh memasuki indera penciuman, membuat dia seolah tertidur sementara. Ketika kembali membuka mata, tempat inilah yang dilihat untuk kali pertama.

"Keluargamu bahkan tidak muncul sampai sekarang. Aku curiga, jika mereka tidak membutuhkan kamu? Karena terlihat tidak memperdulikan di sini." Lagi, laki-laki di belakangnya bersuara.

"Jika memang itu benar, berarti aku buang banyak waktu secara sia-sia mengincar kamu dari dulu. Hei! Katakan apa mereka ... benar tidak menyayangimu?"

Tangan perempuan itu mengepal kuat walaupun masih terikat.

"Kenapa kamu—oh iya, aku lupa kalau mulut kamu ditutup, tidak bisa berbicara."

"Dasar orang bodoh!" umpat perempuan itu, dalam hati.

"Hm?" Laki-laki tadi berjongkok dan memiringkan sedikit kepala untuk menatap lawan bicaranya dari arah samping. "Baiklah. Tidak apa-apa, kita masih bisa menunggu sampai beberapa jam ke depan. Mungkin saja, mereka masih susah menemukan tempat ini, kan?"

Dia tertawa, tetapi ketika kembali ingin membuka suara, seseorang yang datang dari arah depan menghentikan ucapannya.

"Dokter ini sepertinya datang untuk menjadi penyelamat, Tuan."

Perempuan itu sedikit mengangkat kepala. Namun, saat itu pula kedua matanya membulat saat 'dokter penyelamat' yang dimaksud adalah seseorang yang diharap tidak berada di tempat ini.

"Oh, ada tamu yang tidak diundang?" Orang yang menodongkan pistol padanya menyahuti laki-laki berjas dokter di ujung sana. "Jadi, berapa lama waktu yang kamu buang untuk sampai ke sini? Sepertinya cukup lama untuk membuatku bosan menunggu perempuan ini mengemis nyawa."

Dia memperlihatkan senyum bengis. "Tapi apa kamu tau? Sedikit saja ada tekanan di pelatuk ini, dan orang yang mau kamu selamatkan akan ... bom."

Mendengar itu, deru napas perempuan tadi memburu, ia meneguk ludah kasar berharap beradanya dia di sini bersama laki-laki di sana hanya halusinasi belaka. Sejenak, ia menengadahkan wajah secara pelan pada langit yang kembali menurunkan hujan dengan intensitas rendah.

Dalam keterdiaman, ia bermunajat lirih pada Tuhan-nya, Allah. Meminta dengan sangat jika suatu hal buruk yang dia pikirkan menjadi nyata, yang pertama harus selamat adalah laki-laki yang kini tengah menatapnya dengan mata memerah di sana.

Karena semua ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan laki-laki itu.

"Jaga dia, Tuhanku. Bahkan, jika harus menukarnya dengan nyawa yang aku punya, aku cukup siap asal dia bisa baik-baik saja ..." Kata itu keluar begitu saja di hati perempuan itu. Dia menutup mata untuk meminta dengan lebih sangat.

Namun, belum sempat dia melanjutkan, dua suara tembakan yang saling bertautan telah lebih dulu memasuki pendengaran.

(Start; 06/09/2024)


.
.
.

.

Bismillah..
Hallo? Selamat datang dan terimakasih telah menemukan cerita ini🫧

So, gimana sama prolognya? Saya (penulis) ambil dari dua sudut pandang tokoh utama..
*Emang siapa tokoh utamanya, Kak? (Yang di atas itu, haha). Dan cerita ini adalah spin-off dari 'Waktu, dan Takdir'.

Jadi kalau mau tau lebih banyak, harus mau pantengin dari awal sampai akhir sih. Jangan cuma excited di awal terus nyerah di akhir, /kayak dia/ Eh?

Ya Allah gak jelas banget aku tuh:)

Pokoknya semoga suka! Jangan lupa tinggalkan jejak (vote+komen), simpan di reading list jika sekiranya cerita ini bermanfaat. And, jangan lupa bantu share🩵

Histologi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang