07. Ibarat Fajar dan Senja

70 3 0
                                    

Ibarat fajar dan senja yang mempunyai kesamaan, tetapi juga banyak perbedaan. Memiliki keindahan dan waktu tersendiri untuk bersinar paling terang.

Histologi Hati by IraKarrella

"Kakak?" Hamzah kembali membuka suara, sedangkan matanya tidak lepas menatap satu persatu manusia di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kakak?" Hamzah kembali membuka suara, sedangkan matanya tidak lepas menatap satu persatu manusia di sana. Mulai dari Syafra, Daffi, dan terakhir Syifa yang juga tengah mengarahkan tatapan padanya.

Ternyata selama ini, mereka menceritakan satu orang yang sama? Pada perempuan berkursi roda bernama Syafra, kakak dari Syifa. Seseorang yang kemarin Hamzah pikir hanya sekilas mempunyai kemiripan sifat dengan perempuan yang baru dua kali ditemuinya sebelum ini.

"Dokter ngapain di sini?" Syifa lebih dulu menanggapi. "Terus ... dokter ternyata udah kenal sama Kakak saya, ya?" lanjutnya, bertanya.

Hamzah menghela napas dan dengan sedikit ragu, mengangguk. "Iya, dari beberapa hari yang lalu."

"Kok bisa?" Daffi menyela. "Berarti pas gue ceritain kemarin, lo udah tahu itu dia?"

Hamzah menggeleng. "Belum, tapi udah hampir mikir ke sana. Terus, kayaknya harus cari tempat lebih baik buat bicara ini."

Semua mengalihkan perhatian pada pintu ruang perawatan yang terbuka setengah, begitu pun pada situasi sekeliling yang hampir memusatkan atensi penuh ke arah mereka.

Tersadar ini sudah terlalu jauh, Syifa menghela napas dan memberanikan diri mendekati sang kakak. "Maaf, tapi kakak saya harus cepat pulang, Dok," beritahunya.

Dan tidak perlu bertanya lebih lanjut, Hamzah telah mengerti situasi yang kini dialami Syifa. Tidak bermaksud mencegahnya juga. Namun, dia ingin mengetahui satu hal. Maka, yang dia lakukan adalah menahan sedikit ujung kursi roda Syafra yang baru akan ditarik oleh Syifa.

"Sebentar lagi, nggak apa-apa? Ada yang mau saya tanyakan, kalau kamu nggak keberatan."

"Soal apa? Maaf, Dokter, tapi—"

"Di sini dulu."

Ucapan Syifa terpotong oleh Syafra. Kakaknya itu bahkan memegang tangannya dengan menampilkan ekspresi wajah memohon. Selalu seperti itu.

"Tapi, Kak? Nggak bisa ...."

"Di sini dulu, Syifa. Aku mau di sini dulu, sebentar aja. Nanti biar aku yang jelaskan sama bunda. Semuanya juga, akan baik-baik aja, kok." Lagi, Syafra menyela. Membuat Syifa menatap tidak percaya.

Pasalnya, jika Syafra sudah berkata seperti itu, mustahil baginya bisa menolak apalagi memaksa keinginannya. Syifa juga tidak ingin terus-menerus memberi tekanan seperti ini pada Syafra. Namun, dia bisa apa? Segala risiko itu dia mengetahuinya.

"Kak, tapi—"

"Kali ini? Tolong..." Syafra memaksa.

Syifa menghela napas lelah, sekali lagi melihat Syafra yang masih menampilkan raut wajah berharap di sana. Dia memerhatikan situasi sekitar secara samar, lalu mengepalkan kedua tangan.

Histologi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang