10. Belajar dari Masa Lalu

56 4 5
                                    

Syafra membuat banyak coretan acak pada sebuah kertas yang tersedia di kamarnya, bahwa hanya hal itu yang bisa sedikit mengusir rasa tidak nyaman di hatinya ketika tidak dapat keluar rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Syafra membuat banyak coretan acak pada sebuah kertas yang tersedia di kamarnya, bahwa hanya hal itu yang bisa sedikit mengusir rasa tidak nyaman di hatinya ketika tidak dapat keluar rumah.

Ia lelah.

Sebagai seseorang yang memiliki kekurangan, Syafra sadar jika ia memang harus tahu batas. Ada banyak hal yang tidak bisa dia lakukan. Namun, terkadang rasa 'ingin sesuatu yang lebih' itu ada.

Jika boleh jujur, dulu ia pun tidak memiliki keberanian sama sekali untuk menginjakkan kaki selain di rumah. Hanya saja, sejak Syifa menjalani koas, ia memberanikan diri untuk itu.

Sedari dulu, hidupnya adalah di rumah. Bahkan sampai membuat kulitnya putih dan terkesan pucat. Tidak ada yang spesial selama terkurung itu, hanya bahagia yang dipaksa agar keluarga dapat mengira bahwa dia baik-baik saja.

"Nona Syafra, sedang apa?" Suara itu membuat Syafra berbalik. Ada Bi Wati yang datang sembari membawa nampan berisi makanan, minuman, dan beberapa camilan.

Syafra tersenyum singkat. "Coret kertas. Bibi belum pulang? Syafra nggak mau ngerepotin sampai malam."

"Nggak ada yang merepotkan sama sekali, Nak. Bibi boleh masuk?" Syafra mengangguk.

"Silahkan, Bi."

Bi Wati pun melangkah masuk dan langsung menghampiri Syafra yang duduk di atas kursi roda depan jendela kamar, di mana langit waktu magrib terlihat jelas di sana. Dia duduk di kursi yang tersedia.

"Bibi bawa makanan. Sama ini, ada juga camilan yang dibelikan oleh bunda kamu. Katanya, kamu ingin, ya?" Bi Wati tersenyum dan membuka bungkus camilan kentang tadi. "Silahkan dimakan, Nak. Awas jangan sampai tersedak, ya."

"Bi, Syafra bukan anak kecil lagi," cetus Syafra datar, mengambil alih camilan yang telah dibuka Wati. Wanita paruh baya itu tertawa kecil.

"Nggak ada yang bilang kamu anak kecil, Nak. Bibi cuma berikan sedikit perhatian. Apa itu sebuah kesalahan?"

Syafra menggeleng sebagai jawaban. "Enggak. Tapi, boleh Syafra tanya sesuatu?"

"Tentu, Nak. Soal apa?"

"Kenapa Bibi mau buat terus ikut keluarga Syafra? Bahkan sampai sejauh ini. Padahal Bibi juga butuh dan punya tempat pulang ternyaman, kan? Yaitu keluarga." Syafra menjeda untuk menatap tangan Wati yang mulai sedikit keriput. "Bukan Syafra nggak bersyukur. Cuma selain Syafra, keluarga Bibi butuh Bibi, kan? Gitu juga sebaliknya."

Wati terdiam sebentar. Mencerna maksud Syafra yang ia tahu tidak ada niat buruk di dalamnya. Ia tahu Syafra sedang peduli.

Ditambah, situasi yang memang mengharuskan Wati untuk ikut keluarga Mahesa pindah ke kota ini karena rumah sakit pendidikan Syifa menjalani koas stase bedah dan dua stase terakhirnya terletak di sini. Bukan di kota rumah keluarga Mahesa sebenarnya berada.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Histologi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang