"D-Dokter? Kenapa?"
Suara Syifa sukses membuat Hamzah mengerjap dan mengalihkan pandangan dari layar ponsel yang masih menyala.
"Nggak apa-apa, nanti lanjutnya. Soalnya saya harus pergi dulu," jawab Hamzah seraya mengambil dokumen yang dibutuhkan di atas meja.
"Tapi tadi ... dokter mau nunjukin sesuatu, ya?" Lagi, Syifa bertanya.
"Iya, tapi bukan hal penting, kok. Jadi bisa nanti." Hamzah menjejalkan ponsel ke saku jas dokternya. "Saya duluan. Kalau ada apa-apa sama pasien di sini, saya ada di ruang observasi."
Meski terlihat tidak mengerti, bahkan melihat banyak perubahan di wajah Hamzah setelah mengalihkan pandangan pada layar ponsel tadi, Syifa memutuskan mengangguk.
"Siap, dokter. Oh iya, maaf soal cerita tadi."
"Yang mana? Saya lupa." Hamzah berbohong, nyatanya ia tidak ingin membahas itu saja. "Nanti saya coba ingat, kalau bisa," lanjutnya dan tersenyum menatap Syifa.
"Saya keluar dulu. Permisi." Setelah itu, Hamzah langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya.
Saat telah sedikit jauh dari sana, ia mengambil kembali ponsel dari saku jas dokternya dan memutuskan berhenti di ujung koridor yang terlihat sepi.
Lalu, perhatian Hamzah kini benar-benar terpusat pada pesan yang dikirim oleh Arini. Ada yang mengganjal di hatinya saat itu juga, terutama ketika dengan jelas dapat membaca sesuatu yang antara sangat diharapkan atau tidak.
Nak, apa kabar? Mama harap kamu baik-baik saja, tidak kekurangan apa pun saat ini. Mama harap, kamu makan dengan baik selama proses menuju cita-cita mulia kamu..
Zah, mama selalu berdoa yang terbaik sejak meninggalkan kamu untuk kesekian kalinya waktu itu. Mama menitipkan kamu pada Dia yang telah menitipkan kamu pada Mama. Jadi, pasti kamu terjaga, kan?
Hamzah berhenti membaca sejenak. Ada rasa sesak di hatinya entah sebab apa. Benar apa yang dia katakan beberapa menit lalu pada Syifa, bahwa ternyata—biarpun dia seorang dokter—dia tetap manusia yang punya perasaan. Bisa sangat lemah, apalagi perihal kedua orangtuanya.
Sekian lama, Hamzah kembali fokus ke layar. Satu baris pesan lagi kemudian mengganti rasa sesak tadi menjadi keterkejutan.
Oh iya, mungkin juga ini sedikit mendadak tapi mama mau bilang, kalau mama akan pulang minggu depan.
Hamzah tidak bergeming beberapa saat, sedangkan matanya setia memastikan apa pesan itu nyata atau hanya halusinasi belaka.
"Minggu depan? Kenapa tiba-tiba?" gumamnya. Dia baru akan mengetikkan balasan, tetapi urung saat mengingat segala kemungkinan jika seandainya mamanya tidak akan benar-benar datang.
Hamzah takut ekspektasinya yang tinggi terpaksa terjatuh terlalu dalam.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Histologi Hati
SpiritualHamzah Al-Fatih, seorang residen bedah yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sedikit jauh dari pamannya itu terpaksa menghadapi sebuah takdir yang tak terduga. Bertemu kembali dengan seseorang yang sempat menjadi bagian dari masa lalu adalah...