"Cuma, kadang menjaga seseorang juga berarti bisa memberikan mereka sedikit ruang."
Perkataan Hamzah terus saja berputar-putar di kepala Syifa hingga sekarang, terlebih saat melihat kakaknya di rumah pagi tadi yang kembali murung. Tidak ada senyum, dan hanya helaan napas berat yang Syifa dengar keluar dari bibirnya.
Syifa berpikir, apa dia dan seluruh keluarganya memang sedikit salah? Membiarkan seseorang tetap berada di rumah, sementara orang itu punya keinginan untuk sesekali melihat dunia?
Namun masalahnya, ini jauh lebih rumit dari yang orang-orang kira. Banyak bahaya yang mengintai mbaknya. Lebih tepatnya, bahaya untuk dia, dan seluruh keluarganya.
"Syifa! Kamu mau ke mana?"
Syifa menoleh ke arah kiri saat suara itu memanggil. Dia menemukan Aina, teman satu kelompoknya di stase bedah yang akhir-akhir ini baru dekat dengannya.
"Mau ke ruang koas, istirahat. Kamu sendiri? Atau samaan juga?" balas Syifa. Perempuan berhijab dan berkaca mata bulat yang sering Syifa temukan membuat video keseharian para koas itu tersenyum.
"Iya, sama. Tadi baru aja selesai visitasi pasien. Hari ini rasanya padat banget nggak, sih? Sampai pusing sendiri nih gue lihat kasus hernia dan appendistis. Gimana coba, mereka kayak ngumpul semua di stase bedah."
Syifa tertawa pelan atas ucapan Aina. "Dipikir-pikir iya juga, tapi emang setiap hari kayaknya ada aja pasien yang kena usus buntu. Berasa pandemi appendistis."
"Serius, kan? Apalagi pas dengerin penjelasan konsulen atau residen soal prosedur laparoskopi. Aku tuh berusaha simpan terus informasinya biar nggak bego-bego banget tahu! Tapi tetap aja, pas ditanyain langsung soal anatomi appendiks-nya aku seketika nge-blank!"
"Jujur ... aku juga sering gitu. Seketika amnesia." Syifa kembali tertawa, sesekali menata hijabnya yang berantakan akibat berjalan. "Tapi kamu tahu nggak, Ai? Ada satu pasien post-op kemarin yang tiba-tiba pengen temenan sama aku."
Mata Aina mencuat setengah. "Hah? Kok bisa? Maksudnya gimana?"
"Nggak tahu. Mungkin aja karena dia anak-anak, umurnya kisaran delapan tahun gitu." Syifa menjeda untuk mengingat-ingat sesuatu. "Waktu pertama kali datang buat pemeriksaan, dia natap terus. Pas aku samperin dan tanya beberapa hal, dia jawab sesuai yang aku tanyain, sih, tapi tiba-tiba habis itu dia ngomong 'Kakak mau temenan sama aku nggak?'. Gimana nggak kaget?"
"Kok kayaknya creepy gitu, ya? Terus kamu jawab apa?" tanya Aina, penuh rasa penasaran. Sesekali, perempuan itu membenarkan letak kacamata yang sedikit turun ke pangkal hidung.
"Aku bilang aja boleh." Syifa menyengir lebar. "Lagian anaknya lucu lho, Ai. Manis gitu. Perasaan aku juga bilang, kalau dia udah dari lama perhatiin aku setiap ke bangsal itu, tapi baru bisa aku tanganin langsung sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Histologi Hati
SpiritualHamzah Al-Fatih, seorang residen bedah yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sedikit jauh dari pamannya itu terpaksa menghadapi sebuah takdir yang tak terduga. Bertemu kembali dengan seseorang yang sempat menjadi bagian dari masa lalu adalah...