2. The Oscars

260 36 1
                                    

Dia adalah seorang ikon 90-an. Dia adalah salah satu aktris Indonesia yang berhasil meraih Hollywood. Karirnya sedang berada di puncak saat itu ketika ia tiba-tiba bertemu dengan seorang pria asal Inggris, jatuh cinta, lalu mengandung. Ia terpaksa harus hiatus dari dunia perfilm-an untuk mengurus keluarga kecilnya. Pada saat ia kembali, semuanya sudah berubah, perannya telah digeser dan ia tidak lagi diperlukan. Karirnya sebagai aktris hancur. Bertemu dengan Jonathan Brown dan memilikiku sebagai putrinya adalah penyesalan terbesarnya seumur hidup. Ya, dia yang kumaksud adalah ibuku, Dita Andhira.

Dia adalah orang yang membuatku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak jatuh cinta sebelum puncak karirku usai. Dia adalah alasan dan motivasiku untuk menjadi aktris, tetapi juga adalah ketakutan terbesarku saat menjadi aktris. Ekspektasi tingginya kepadaku adalah sesuatu berkat, namun juga siksaan. Karena jika aku mengecewakannya, maka aku akan menjadi kegagalan terbesarnya.

Ibuku tidak melarangku untuk berpacaran, namun iya untuk jatuh cinta. Rupanya itu adalah 2 hal yang berbeda baginya. Tidak seperti ibu-ibu lainnya yang gembira ketika anaknya berhubungan dengan seorang pria sukses, tampan, dan berprestasi, ibuku justru khawatir.

Ketika aku mengencani seorang dokter 1 tahun yang lalu, ibuku berkata "Aduh gimana kalau dia sibuk nanti, lalu menuntut kamu buat jangan ambil projek film banyak-banyak agar bisa temani dia. Belum nanti kalau mau menikah, kamu tidak boleh kerja lagi, suruh urusin rumah."

Atau ketika aku mengencani seorang penyanyi dalam suatu band terkenal beberapa waktu yang lalu, ia juga menyampaikan perintahnya dengan sangat jelas, "Alison! Kalau dia nanti tur dunia bareng band-nya, kamu disuruh ikut sama dia keliling dunia, karirmu terus gimana? Enggak, enggak bisa. Putus sekarang."

Sejak saat itu, kuputuskan untuk melajang. Keputusanku jelas dan bulat. Career first.

"Alison!" bentak Erin menggebrakan meja, "Segugup itu kah kamu? Sampai kamu melamun? Mikirin apa aja?"

"Gapapa, bukan apa-apa." jawabku sambil meminum double esspreso-ku, mengingat aku hanya tidur selama 2 jam.

"Ok, dress ready. make up ready. hair ready. jewelry ready. Kita akan berangkat dalam 15 menit." kata Erin.

"Apa mungkin kamu mau meneguk segelas whisky? Segelas aja. Biar merilekskan tubuhmu." tawar asistenku itu.

"I'm fine." jawabku menenangkannya.

"You don't look fine, darling. Lihatlah dirimu. Tubuhmu bergetar terus-terusan."

"Mungkin karena ini adalah satu-satunya kesempatanku untuk memenangkan Oscar yang entah kapan lagi akan kudapat jika aku tidak memenangkannya malam ini."

"Kamu akan memenangkannya." Erin sedang berusaha menenangkanku dan aku menghargai usahanya.

Malam ini tidak akan mudah. Nominasi Best Supporting Actress dipenuhi oleh aktor-aktor berbakat dan luar biasa. Claudia James memikat hati para penonton dengan akting-nya sebagai seorang ibu. Jessica Mendes juga tidak kalah hebatnya berperan sebagai seorang detektif pembunuhan berantai. Aku berada diantara mereka, seorang aktris pemula yang berperan sebagai seorang perempuan yang jatuh cinta kepada pria tunanetra. Aku tidak ragu bahwa Andrew Jameson, lawan mainku akan memenangkan Best Actor dengan perannya sebagai seorang pria tunanetra yang sedang jatuh cinta. Aku, Alison Brown, aku tidak begitu yakin soal itu.

Saat presenter Calvin Jeremy hendak membacakan pemenangnya dari sebuah kertas, aku tahu bahwa aku bukanlah pemenangnya. Tidak mungkin aku mengalahkan Jessica dan Claudia dalam penghargaan ini. Tapi sebagian dari hati kecilku berharap bahwa itu mungkin adalah aku.

Formula of Dreams Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang