BONUS CHAPTER - " Backward Pt. 2"

1.1K 149 3
                                    

warn: dialog dibawah menggunakan power of gugel translate sepenuhnya, jadi maaf kalau ada kesalahan

author's POV

"Je suis désolé, tn. Leclercq" (maafkan aku Tn. Leclercq) Wanita tua berbalut jas dan dengan rambut disanggul berkata sedih namun tegas seraya memberikan sebuah buku laporan akhir pelajaran kepada salah seorang siswanya. Remaja itu, yang masih duduk di bangku menengah atas, tak mampu mengatakan apapun kecuali, "Merci, madame la Rousette" (terima kasih, Ibu Rousette).

Kepala Sekolah Rousette hanya mengangguk, kemudian pria yang bernama belakang Leclercq itu pergi dengan langkah gontai. Sesampainya diluar, dia tidak pergi kemana-mana lagi melainkan langsung pulang ke apartemen dimana keluarganya tinggal. Kakinya meraup langkah besar-besar, seolah setiap jejaknya menggambarkan kemarahan dan kehancuran hatinya kala itu.

Ia tiba di apartemennya, dua puluh menit berselang setelah itu. Dia tidak menghiraukan sapaan ibunya yang tengah sibuk menyetrika pakaian. Dia langsung masuk ke kamarnya, membanting tas ke arah tempat sampah disamping meja belajar dan membanting dirinya keatas tempat tidur. Dia menangis. Ya, dia menangis. Tapi itu masih tidak cukup untuk meluapkan semua keputusasaannya kala itu.

Ayahnya sendiri, yang menjadi orang pertama yang masuk ke kamarnya.

"Tu vas bien?" (kau baik-baik saja?)

Tidak ada sahutan. Pria berumur 40 tahun itu melihat putranya berbaring dengan posisi tertelungkup. Wajahnya terbenam di permukaan bantal.

Si ayah beranjak makin ke dalam, menutup pintu perlahan, lalu duduk ditepian tempat tidur putranya. Tangannya membelai rambut coklat lurus putranya lembut, penuh kasih sayang. Si anak terkejut, dan sontak mengangkat wajah. Matanya sembab, hidungnya merah.

"Père?" (ayah?) cepat-cepat dia berbalik, duduk, mengusap air matanya. Dia menunduk, terus menunduk. Sama sekali tidak berani menatap wajah ayahnya. Diluar dugaannya, sang ayah justru berkata dengan lembut, "Ne fait rien, Hugo. Vous devriez me dire. Tout." (tidak apa-apa, Hugo. Kau boleh bercerita padaku. Semuanya.)

Hugo tidak langsung bercerita. Dia melirik ke tas sekolahnya yang kini berada di tempat sampah kamarnya. Didalam tas itu, berisi laporan akhir semesternya dan didalam buku laporan itu, ada surat resmi dari sekolah. Surat yang membuatnya benar-benar merasa gagal dalam menjalani hidup.

Setelah itu, untuk pertama kalinya dia menatap ayahnya. Ketakutan menyelimutinya, bahkan lebih dari itu. Berbagai pikiran buruk masih berkelebat dalam pikirannya, dan ia rasa semuanya mulai membuat lehernya tercekik.

Pun Hugo menyerah, benar-benar menyerah. Dia tidak sanggup untuk menyembunyikannya lagi.

"Cette ... est pas aussi simple, père. I..." (ini... tidak semudah itu, ayah. aku...) Hugo menutup mata, seolah ada bagian dari tubuhnya yang sungguhan terluka berdarah dan perih. Memang tidak ada luka harfiah, tapi ada luka nyeri yang tidak tampak dalam dirinya. Dia menarik napas dalam-dalam.

"Je suis le décrochage scolaire" (aku dikeluarkan dari sekolah)

Hugo sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya: ekspresi lembut ayahnya akan berubah menjadi keras lalu ia akan dibentak, dimaki, dihujat, ditampar, atau mungkin sekalian diusir dari rumah. Mungkin ayahnya juga akan mengambil tasnya lalu merobek rapornya didepan matanya, tapi dugaannya salah besar. Tidak ada satupun dari bayangan mengerikan itu yang terjadi. Ayahnya justru bertanya, "Alors, comment est votre sentiment?" (lalu bagaimana perasaanmu?)

Hugo hanya bisa terkejut dan kehilangan kata-kata. Pikirannya mendadak korslet. Ia sendiri sulit percaya bahwa ayahnya ternyata hanya bertanya 'bagaimana perasaannya?'. Atau jangan-jangan dia bermimpi?

"Buruk, tentu." kata Hugo. "Aku sudah... gagal menjadi orang yang kau harapkan. Aku harusnya berusaha lebih keras lagi tapi... tapi aku ternyata tidak bisa memaksakannya, ayah, maafkan aku. Aku memang tidak berguna..."

"Ssh, ssh sudah. Kau tidak boleh berkata begitu." Tn. Leclercq kembali membelai rambut putranya. "Kau tidak pernah gagal, Hugo. Percayalah."

"Bagaimana mungkin?"

Tn. Leclercq tersenyum, meremas kedua bahu Hugo erat-erat. "Hidupmu tidak hanya berakhir di sekolah, kau harus ingat itu. Apapun yang akan terjadi nanti, kau harus bangkit! Seperti sekarang, kau jatuh. Lalu kau harus bangkit, bukannya meratapi. Dan aku akan selalu berada di belakangmu, mendukung dan mendorongmu agar terus maju. Itulah, Hugo, kesuksesan yang sebenarnya." Ayahnya tersenyum ke arah tas sekolahnya yang masih berada di tempat sampah. "Aku mengerti bagaimana rasanya."

Hugo tidak menjawab lagi. Dia memeluk ayahnya erat, menangis kencang. Sebagian karena terharu, dan sebagian masih karena sedih.

***

Malamnya seusai makan, Hugo kembali mengurung diri dalam kamar. Dia mengeluarkan launchpad, benda yang selama ini sangat ia suka dan kuasai. Selama bertahun-tahun Hugo telah menggunakan benda itu untuk me-remix lagu, yang hasilnya dia upload ke akun Soundcloud-nya. Sekitar tiga bulan yang lalu, Hugo sedang mengerjakan sebuah lagu pertamanya sendiri.

Kata-kata ayahnya kembali melintas dalam pikirannya disaat ia bengong menatap benda berbentuk persegi dengan banyak tombol itu. Hidupmu tidak mentok hanya karena sekolah, kau harus ingat itu. Apapun yang akan terjadi nanti, kau harus bangkit. Seperti sekarang, kau jatuh. Lalu kau harus bangkit, bukannya meratapi.

"Tapi... apa aku bisa?" dia bergumam pelan, sedih. Jarinya memainkan tombol on dan off berulang-ulang, membuat tombol-tombol di launchpad bersinar-mati-bersinar-mati dalam kondisi kamarnya yang gelap gulita. Selain itu hanya ada cahaya tipis bulan dari luar, masuk ke dalam kamar karena jendelanya sengaja dibiarkan dalam kondisi terbuka.

Hugo masih bergumul dengan kebimbangan pikirannya. Kepalanya terasa begitu ribut sementara kamarnya begitu heningan. Sebagian dari dirinya mengatainya gila kalau sampai membanting setir hidupnya dengan menekuni hobi. Itu tidak benar. Dia seharusnya memikirkan sekolah baru yang mau menerimanya di semester depan. Hanya secuil dari dirinya yang menginginkan untuk bersikap masa bodo dan mengejar mimpi.

Lalu Hugo mengerang, menjambak rambutnya, dan menyimpan kembali launchpad di laci meja, bersama dengan sepasang speaker mini dan charger laptop yang sudah lebih dulu disana. Setelah itu dia memungut tas sekolahnya, mengeluarkan raport dan semua buku pelajarannya. Hugo hanya menyisakan raportnya di meja, sementara semua buku pelajarannya ia bawa ke jendela dan ia buang begitu saja, dari lantai sepuluh apartemen tempat tinggalnya. Buku-buku itu jatuh ke halaman apartemen, disekitaran semak-semak dan beruntung tak ada satupun orang yang melihat.

Senyum puas terukir di wajah Hugo.

Langkah berikutnya, dia menutup jendela kamar. Kemudian meraih semua perlengkapan 'menulis' sederhananya: pena, sebuah buku tulis lusuh, launchpad, speaker mini, laptop dan headphone—semua barang-barang itu ia bawa ke atas tempat tidurnya.

Hugo merampungkan pekerjaannya, menyelesaikan lagu pertamanya yang mogok sedari tiga bulan lalu hingga fajar menyingsing di keesokan harinya.

Dia bahkan belum pernah merasa 'selepas' itu. Euforia aneh meletup-letup dalam dirinya, namun Hugo menyukainya dan membiarkan dirinya terbawa mood. Perasaannya kian membaik karena memikirkan bahwa ia sudah dikeluarkan dari sekolah; itu berarti dia akan punya lebih banyak waktu untuk memulai segalanya dari awal. Persis seperti kata ayahnya.

Dan dia tidak akan menyerah kali ini.

***

Beberapa tahun kemudian, semua orang dipenjuru dunia mengenal namanya: Madeon alias Hugo Pierre Leclrecq, seorang DJ dan French music house/electro house/nu-disco/ producer.

Dia berhasil. []

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang