Delapan Belas

2.2K 226 8
                                    

Author's POV

Beberapa hari kemudiannya lagi, akhirnya Addo diijinkan pulang dari rumah sakit. Dan pagi ini mereka melaksanakan aktivitas seperti biasa.

"Addo, bangun! Sudah siang!" seru Pat sambil mengetuk pintu kamar Addo.

"Mmmh..." Addo mengerang pelan lalu masuk bersembunyi di dalam selimut. Kemudian dia tidur lagi.

"Addo Chance!!!" Pat mencoba membuka pintu tapi gagal karena terkunci dari dalam. Addo pasti masih tidur, dia tahu persis. Yang tidak dia tahu adalah bahwa teriakannya justru malah membangunkan Greyson, yang tidur di dalam lemari pakaian Addo. "Ada apa ribut-ribut?" dia berdecak malas, lalu keluar menembus lemari. Dilihatnya buntalan padat selimut diatas tempat tidur, dan dia langsung tahu kalau itu pasti Addo. Seketika ia paham

"Dasar anak malas." Pun Greyson membantu membangunkannya dengan mengangkat selimut Addo ke udara. Seketika anak itu mengigil karena udara dingin serta merta mencubit kulitnya.

"Aduh! Iya, Ma, iya, aku ba—" ucapan Addo terputus. Seluruh tubuhnya seperti berhenti total. Kedua matanya terbelalak, bahkan nyaris copot. Selimutnya terbang persis diatasnya!

"S..se... seli..mut?" Wajah Addo seketika pucat, mulutnya terbuka menganga dan dia refleks beranjak bangun. Terlambat bagi Greyson menyadari dia telah melakukan kesalahan besar!

"Oh tidak," gumamnya panik lalu menarik kembali tangannya dan selimut itu pun jatuh kembali, membungkus tubuh Addo bulat-bulat. Hal terakhir yang Greyson dengar sebelum meninggalkan kamar itu adalah suara pekikan Addo.

***

Begitu di sekolah, Addo tidak bisa mencegah dirinya untuk menceritakan kejadian aneh itu pada Matt dan Alice. Mereka baru bertemu disaat jam makan siang, dan otomatis disaat itulah Addo memilih menceritakan semuanya. Namun reaksi teman-temannya tidak sesuai dengan yang ia bayangkan. Terutama Matt, yang tertawa seperti orang kerasukan. "Selimut melayang? Yang benar saja! HAHAHA!"

Addo menatapnya sebal. "Ugh, aku serius, Matthew!" geramnya kesal. "Kedengarannya memang tidak masuk akal, tapi aku melihatnya sendiri!"

Namun Matt tetap tidak mempercayainya. Suara tawanya malah bertambah keras. Dia bahkan sampai harus memegangi perutnya.

"Uh, kau berlebihan," komentar Alice sambil tertawa kecil. Lalu dia berpaling pada Addo. Mereka bertukar pandang sebentar, Alice tersenyum geli menahan tawa. Namun dimata Addo dia terlihat sangat manis...

Jantungnya melewatkan satu degupan lambat. Dimatanya hanya ada Alice seketika. Dia juga melupakan kekesalannya pada Matt. Alice merasuki pikirannya dengan cepat. Hanya dia...

"Ngomong-ngomong kau sudah sembuh total kan?" tanya orang yang sama kemudian, membuat Addo sedikit kikuk karena baru saja sadar telah terpana pada dirinya.

"Um... ya. Ya, sudah." Lidahnya serasa seperti terpelintir, padahal cuma untuk bilang "Ya".

"Bro, kau selalu membuat kami cemas." Timpal Matt dengan napas terengah-engah habis tertawa. Selang hening beberapa saat karena dia mencoba menenangkan diri, sementara Addo dan Alice hanya memperhatikannya. "Pertama bola kasti, kedua tali, sekarang pisau. Besok apa, coba?" lanjutnya, telah berhenti tertawa.

"Bola kasti? Kapan aku kena bola kasti?" Addo menautkan alis, mencoba mengingat-ingat sejenak.

"Itu, ketika pertandingan," Matt mengetuk-ngetuk dahi Addo dengan telunjuknya.

"Oh iya aku ingat. Tapi ugh, singkirkan tanganmu!" Addo mendorongnya minggir lalu mengendikkan bahu seolah-olah ia jijik. Alice terkekeh menyaksikannya tapi hanya sebentar.

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang