Empat Puluh Tiga

1.5K 203 19
                                    

A/N THANK YOU SO MUCH FOR THE 3K VOTES!!! (on multimedia: Imperium Cover on Launchpad by N4C)

***

Author's POV

Hugo dan Addo sama-sama terpaku di tempat untuk beberapa saat. Tidak ada yang tahu harus merespon apa terlebih dahulu. Terkejut dan bingung, Addo melihat ibunya hanya menunduk—sama sekali tidak bisa menerka apa yang terjadi.

Hugo berusaha berpikir cepat, tapi rasa gugup menjalarinya dengan cepat, membuatnya sulit berpikir. Manik matanya bertemu dengan manik mata Addo, dan alhasil ia serasa makin terlempar ke sudut.

"Apa yang Paman—"

"Dengar, aku hanya—"

Mereka berdua membuka mulut bersamaan sebelum reflek sama-sama kembali terdiam. Hugo menarik napas agak dalam, sebelum memanggil Addo mendekat dengan sebuah lambaian tangan. Addo tidak menyahut, hanya langsung menurut. Sesampainya anak itu di teras, barulah Hugo mulai bicara.

"Ini tidak seperti yang kau pikir," katanya. "Aku hanya menenangkan ibumu."

"Mama? Mama kenapa?" Addo seketika panik dan berjalan melewati Hugo untuk mencari ibunya. Pat sudah tidak terisak lagi, tapi matanya tampak begitu jelas bengkak.

"Mama, ada apa?" tanya Addo sembari memegang kedua lengan atas Pat. "Kau baik-baik saja? Ada apa?"

Pat menggeleng, lalu mencium kening Addo. "Tidak apa-apa, Sayang."

"Bohong."

Pat hanya tersenyum. Addo membalasnya dengan pelukan. Tapi tidak lama berselang, Pat mendorong bahu putranya menjauh pelan. Pat membelai rambut cokelat Addo dengan lembut, sementara anak itu sebisa mungkin tidak meluapkan keluar semua pertanyaan yang membanjiri kepalanya.

Tiba-tiba Addo merasa pundaknya ditepuk dari belakang, membuatnya melepaskan pelukan tersebut. Dia menoleh dan mendapati Hugo. Addo juga sempat memberinya tatapan meminta penjelasan, namun lelaki dihadapannya hanya membalasnya dengan senyum simpul.

"Ah, iya. Aku kemari karena ingin memberimu sesuatu," Hugo berbalik lagi, mengambil bungkusan plastik yang masih tergeletak di lantai, dan mengulurkannya pada Addo. Addo menerimanya, masih dengan tatapan bingung. Dia hendak mengeluarkan isi dari bungkusan tersebut namun dilarang oleh Hugo.

"Kenapa memangnya?"

"Lihat saja nanti di dalam."

Addo mengangguk. Ditimbang-timbangnya bungkusan itu dengan tangan—dirasa lumayan berat.

"Nah, kalau begitu aku akan pergi sekarang," Hugo pamit. Dia berpaling ke Pat sekali lagi. "Aku permisi."

Pat mengangguk lalu mengantar tamunya hingga ke halaman. Pria itu menghentikannya dengan lembut. "Tidak usah. Kau masuk saja, temani Addo."

"Eh... Um, thanks."

"Don't mind anything," kata Hugo lalu pergi. Addo memerhatikan mereka berdua dari tempatnya sebelum memutuskan untuk masuk lebih dulu. Ia memacu langkahnya cepat sampai di kamar, karena tidak sabar untuk membuka bungkusan tersebut. Dia bertemu dengan neneknya ketika di ruang tengah, berbaik hati menyapa secara singkat, meskipun dia tahu persis tidak mungkin akan disahuti balik oleh wanita tua itu. Dugaannya benar. Neneknya hanya duduk diam di sofa, walaupun televisi didepannya menyala, arah pandangannya tertuju ke arah lain. Addo tidak repot-repot mencari tahu apa yang tengah mengganggu pikiran neneknya.

Addo tidak mengerti; dia merasa masalahnya di sekolah tadi sudah lebih dari cukup. Tapi ternyata tidak. Dia baru pulang dan semua orang di rumahnya sudah bersikap tidak seperti biasanya. Ibunya menangis dan Hugo menenangkannya—walaupun secara konteks lelaki itu datang untuk memberikan sesuatu. Kenapa ibunya bisa sampai menangis? Apa yang terjadi? Addo berusaha menerka-nerka tapi tidak ada satupun ide atau kemungkinan yang muncul di benaknya.

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang