Halooo....
Mana suaranya?
Sebelum baca tap bintang dulu, ya, friends.
Happy reading.
###
"Za, ponsel kamu bunyi terus dari tadi. Mau aku angkat tapi nggak berani," ucap Vita, rekan kerja Faiza sambil mengulurkan ponsel yang meraung-raung.
Faiza yang baru saja kembali dari toilet segera menerima ponselnya kemudian menjawab panggilan itu. Setelah melakukan percakapan singkat, ia pun menutup panggilan. Menyisakan Vita yang memandangnya penasaran.
Gadis itu pun mengulas senyuman sebelum melontarkan kalimatnya, "Makasih, Vit. Barusan Mas Nazril yang telpon." Tentu saja Vita tahu hal itu. Ia bisa melihat identitas si pemanggil saat membawa ponsel Faiza tadi.
"Dia minta bantuan. Ada tamu Riverside yang butuh pertolongan."
Vita pun akhirnya mengangguk paham.
"Kamu sekalian pulang, kan? Kamu seharusnya sudah pulang tadi."
Faiza mengangguk. Jam kerjanya memang sudah berakhir tiga puluh menit yang lalu, tapi ia harus menyelesaikan jahitan pada luka pasiennya. Seorang remaja tanggung yang terlibat perkelahian dengan temannya hanya karena urusan wanita. Benar-benar menggelikan. Bukannya mereka serius belajar tapi justru sibuk dengan urusan percintaan.
"Iya, sekalian aku pulang. Riverside kan dekat rumah." Faiza menyebut nama bungalo sekaligus kawasan wisata yang kebetulan berlokasi di desanya.
"Nggak dijemput Mas Nazril?"
Faiza menggeleng. "Sepeda motorku ditaruh mana kalau Mas Nazril jemput."
Vita terkikik. "Kali aja, kan. Masak punya pacar cantik gini dibiarin pulang malam sendirian. Kalau di jalan diculik orang gimana? Minimal takut ditikung orang. Apalagi ada dokter Rizal yang mepet terus."
Faiza hanya mengulas senyuman. Ia masih belum berani terlihat bersama dengan Nazril. Pria yang sudah hampir satu tahun ini menjadi orang terdekatnya. Mungkin kekasih, lebih tepatnya, ia masih tak berani melontarkan sebutan itu. Banyak hal yang masih butuh pertimbangan. Termasuk restu orang tuanya. Makanya ia memilih untuk tidak membuka hubungannya dengan Nazril kepada siapapun, hanya sahabat terdekatnya yang tahu. Vita salah satunya. Sesama perawat di Puskesmas tempat ia bertugas.
"Kamu kalau dibiarin lama-lama ngelunjak, Vit. Udah, ya, aku balik dulu. Selamat begadang. Kalau takut, telpon aku aja. Aku temani." Malam ini Vita bertugas malam. Hanya ada dua pasien rawat inap di ruang perawatan Puskesmas dan semuanya dalam kondisi baik. Besok, keduanya sudah dipastikan boleh pulang. Faiza yakin, Vita bisa menikmati tidur malamnya kali ini.
"Siap! Hati-hati, ya. Selamat ketemu Mas Nazril dan hati-hati terpergok ibu." Vita terkikik dengan ucapannya sendiri. Gadis itu tahu betul bagaimana ibu Faiza. Apalagi jika sampai wanita itu tahu Faiza diam-diam berhubungan dengan Nazril. Bencana. Mungkin seperti itulah kata yang bisa mewakilinya. Bagi ibu Faiza, Nazril bukanlah calon menantu impian.
Lima belas menit kemudian Faiza sudah tiba di area parkir Riverside. Setelah memarkir motornya ia bergegas menuju lobi Riverside demi menanyakan keberadaan Nazril.
Tak sampai lima menit Nazril sudah menghampirinya. Tanpa banyak kata pria itu membawanya menuju salah satu bungalo.
"Emangnya tamunya kenapa, Mas? Kalau darurat kenapa nggak langsung dibawa ke Puskesmas atau ke rumah sakit aja?" Faiza mulai menanyakan penyebab ia diminta ke tempat ini. Apalagi hari sudah semakin larut. Untung saja sebelum jam kerjanya berakhir tadi ia sudah menghubungi ibunya jika ia akan pulang terlambat karena ada pasien yang belum selesai ia tangani.
"Beliau tidak mau. Ini aja atas inisiatifku dan Pak Darto. Kami tidak tega melihat memar dan lebam di tubuhnya. Apalagi saat ini beliau demam." Nazril menyebut nama salah satu pekerja Riverside.
"Eh? Maksudnya gimana?" Faiza seketika menghentikan langkah. Dipandangnya pria yang ikut menghentikan langkah di sisinya itu.
"Tadi siang ada sedikit keributan di sini."
Faiza mengerutkan alis tak paham membuat Nazril menarik napas berat. Ia masih ragu, apakah bijak jika ia menyampaikan alasan kenapa salah satu tamu Riverside itu butuh pertolongan Faiza.
"Tadi siang Pak Rendra terlibat keributan dengan seorang pria. Beliau memukuli pria itu." Mata Faiza membelalak terkejut saat Nazril menyebut nama pemilik Riverside, Narendra atau semua orang biasa memanggilnya Rendra.
"Saat ini Pak Bima, pria yang dihajar Pak Rendra, babak belur. Yang membuat kami cemas, beliau juga demam. Aku dan Pak Darto sudah berniat mengantar ke Puskesmas atau ke dokter, tapi beliau tidak mau."
Faiza masih belum menangkap benang merah dari ucapan Nazril.
"Kenapa pria itu tidak pergi dari tempat ini? Maksudku, logikanya, jika kita sudah dibuat babak belur, kenapa masih berada di sini? Maksudku kenapa dia tidak pulang?"
Desahan lelah terdengar dari mulut Nazril.
"Aku tidak tahu, Za. Sekilas tadi aku dengar Pak Bima datang ke sini untuk mencari Mbak Karina. Lalu entah bagaimana, Pak Rendra mengamuk dan menghajar pria malang itu. Setelah itu Pak Bima juga mengunjungi makam Mbak Karina dan kembali ke sini dalam keadaan basah kuyup kehujanan. Beliau lalu memesan kamar dan menjadi tamu Riverside. Tadi Pak Rendra sudah mengusirnya tapi sepertinya Pak Bima tak berniat pergi. Lalu saat Pak Darto mengantarkan makanan ke kamarnya, Pak Darto mendapati jika pria itu tergeletak di lantai dengan tubuh panas, makanya aku memintamu untuk melihat kondisinya. Aku merasa kasihan."
Faiza terdiam sejenak lalu mengangguk pelan. Sedikit terenyuh dengan cerita yang disampaikan kekasihnya itu meskipun semua tanya masih bercokol di benaknya. Tanpa kata ia pun melanjutkan langkah menuju bungalo yang Nazril maksud. Setelah mengetuk pintu, Nazril langsung memasuki bangunan menawan itu. Ia tak menunggu pintu dibuka oleh si pemilik karena ia tahu si pemilik ruangan tak akan mampu berjalan untuk membuka benda itu.
Saat pintu terbuka, Faiza mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ia selalu menyukai setiap sudut Riverside baik taman, restoran, area camping, sungai, bahkan semuanya tak terkecuali bangunan indah ini. Ia selalu betah berlama-lama di sini. Beruntung, sang kekasih bekerja di tempat ini. Ia bisa sering-sering berkunjung meskipun tetap harus berhati-hati agar keluarganya tak mencurigainya.
Setidaknya ia patut bersyukur, dulu ibunya berkeinginan menjodohkannya dengan Narendra, pemilik Riverside. Saat ia berpamitan ke Riverside, ibunya selalu tersenyum girang karena mengira dirinya akan menemui Narendra. Padahal ia sebenarnya menemui Nazril, satu dari beberapa orang yang dipercaya Narendra sebagai manajer di Riverside.
"Di mana?" bisik Faiza pelan saat tak melihat siapa pun di sekelilingnya.
"Di dalam," jawab Nazril sambil berjalan mendahului. Pria itu memasuki ruangan semakin dalam. Lalu berbelok menuju sebuah kamar. Sebelum memasuki kamar ia mengetuk pelan pintu yang separuh terbuka itu.
"Maaf, Pak Bima, saya datang dengan seorang perawat yang akan memeriksa Bapak." Nazril berucap pelan di depan pintu.
Hening untuk sesaat.
"Pak Bima?" ulang Nazril untuk memastikan.
"Pergilah. Saya baik-baik saja." Suara pria di dalam kamar terdengar.
###
Nia Andhika
25012024Gimana....
Gimana....
Sudah nemu sesuatu gak? 🤣🤣🤣🤣
Sampai di sini kira-kira apa sudah ada titik terang cerita ini bakal jadi lapaknya siapa aja?
Yg rajin baca n ngikutin lapak saya pasti sudah mulai paham ke mana perahu kita akan berlayar eaaakkk.... Eaakkk....😂😂😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Resolusi Hati
RomanceHidup sebagai bungsu dari lima bersaudara dan menjadi satu-satunya perempuan tidak selalu menjadi hal yang menyenangkan. Apalagi jika mempunyai orang tua dan kakak-kakak yang selalu mengatur setiap langkah yang akan dijalani. Bukan cuma langkah, bah...