10

530 97 12
                                    

Hallooooo.... Masih ada yang nungguin cerita ini nggak? Setelah sekian purnama akhirnya bisa update juga. Mohon maap penulisnya lagi sok sibuk wkkwkk....

Btw, yang belum mampir ke Riverside mampir yuk, biar punya sedikit gambaran si Faiza dan Mas Nazril.

Sebelum baca jangan lupa bintangnya disentuh, ya. Feel free juga buat komen jika ketemu kalimat yang agak nganu. Maklum, ketik langsung publish. Happy reading.

###

"Kenapa dengan Mas Nazril, Pak?" Faiza masih tak berani berterus terang. Ia akan mengulur, mencoba agar kedua orang tuanya tak mencium apapun dari apa yang sebenarnya terjadi.

"Heleh... Za! Masih nggak nyerah juga? Ibu dan bapakmu sudah bersabar nunggu penjelasan kamu, tapi kamunya terbelit-belit," ucap Roisah tak sabaran. Hal yang makin membuat Faiza ketakutan. Sepertinya kali ini ia tak terselamatkan.

"Mau sampai kapan kamu kucing-kucingan dan diam-diam jadi perbincangan seluruh warga. Malunya, Za. Masak anaknya Kepala Desa kayak gini? Nggak bisa kasih contoh yang baik. Baru kemarin ibu bahas masalah beginian sama kamu. Ternyata justru kamu yang dengan sengaja sembunyiin aib. Dan yang paling membuat kecewa, kamu sudah melakukannya sejak dulu. Teganya kamu, Za." Roisah berucap dengan nada penuh kekecewaan.

"Bahkan kamu mengkhianati bapak dan ibu sejak lama. Berulang kali ke Riverside cuma untuk bertemu pria itu."

Faiza tak mampu berkutik. Semua yang dikatakan ibunya tak satupun ada yg salah. Yang jadi pertanyaan, siapakah yang telah mengatakan fakta itu kepada orang tuanya? Hal itulah yang terus menerus melekat di otaknya.

"Masih diam! Nggak mau kasih penjelasan?" Roisah tak mampu menahan lebih lama lagi. "Alasan ada tamu Riverside sakit, alasan merawat luka Pak Rendra, pesan kamar untuk dosen. Halah... Gombal semua!"

"Tapi emang betul kalau itu, Bu." Faiza mencicit ketakutan. Dilihatnya wajah sang ibu takut-takut lalu sang ayah yang terlihat tak berekspresi. Ingin ia meminta pembelaan pada pria itu tapi mengingat justru ayahnyalah yang melontarkan fakta yang ia sembunyikan, Faiza pun hanya mampu menunduk. Siap menerima apapun yang orang tuanya putuskan. Toh sedari awal ia sudah tahu kalau hubungannya dengan Nazril tak akan berjalan dengan sempurna seperti halnya orang-orang di luar sana.

"Yang benar-benar membuat kami tidak habis pikir, bagaimana mungkin kamu sampai berbohong demi bisa ke Surabaya dan ke Malang dengan Nazril?! Teganya kamu, Za. Sudah tidak mengganggap kami ada," ucap Roisah dengan nada kesakitan yang seketika saja membuat Faiza membelalak. Benar-benar tak menyangka jika kedua orang tuanya sampai begitu jauh mengetahui fakta itu. Ia akui, dirinya dan Nazril tidak akan mungkin bisa menghabiskan waktu bersama jika masih berada di kampung halaman mereka. Terlalu banyak orang yang bisa saja melaporkan kegiatan mereka kepada orang tua Faiza. Namun, kini bahkan saat dirinya dan Nazril keluar kota pun orang tuanya juga tahu.

"Ngapain aja kamu di Surabaya dan Malang, Za? Apa yang kalian lakukan di sana? Kamu bahkan menginap." Kali ini Roisah tak mampu menahan lelehan air matanya. Meskipun sering kali berhati keras. Namun, saat dihadapkan pada kenyataan jika putri bungsu kesayangannya telah berbuat begitu jauh dari perkiraan benar-benar menyakiti hatinya.

"Berapa banyak kebohongan yang sudah kamu susun, Za? Teganya kamu berbuat kayak gini sama, ibu dan bapak, Za."

Faiza semakin menunduk. Rasa malu, bersalah, dan bermacam rasa lainnya menyeruak di dadanya.  "Maafin aku, Bu. Aku salah tapi aku nggak berbuat macam-macam sama Mas Nazril. Aku bersumpah, Bu." Gadis itu mulai terisak pelan.

"Bahkan kamu dengan terang-terangan berpelukan dengan Nazril di halaman parkir Riverside. Kenapa sampai sejauh itu, Za? Kemana rasa malumu? Kemana didikan yang sudah ayah dan ibu berikan sejak kamu masih kecil?! Bahkan di desa sendiri saja kamu sudah berbuat sejauh itu. Bagaimana saat kamu berada di Surabaya dan Malang? Apa saja yang sudah kalian lakukan?!"

"Maafin aku, Bu. Maafin aku, Pak. Aku salah, tapi aku bersumpah aku tidak berbuat yang terlalu jauh. Aku cuma keluar bareng aja sama Mas Nazril. Nggak ngapa-ngapain."

"Siapa yang bisa jamin, Za? Siapa?! Saat ini saja sudah jelas-jelas kamu bohongin ibu sama bapak." Kalimat Roisah membungkam Faiza.

"Siapa yang mengatakan semua ini, Bu? Siapa? Ibu jangan termakan dengan ucapannya. Tak semua yang dikatakannya benar." Faiza berusaha membela diri.

"Nggak usah membela diri, Za. Faktanya kamu memang berbohong. Kamu tahu sendiri siapa bapak kamu. Tidak ada orang yang tidak mengenal bapakmu di sini. Termasuk kamu. Apapun tindakan kamu pasti akan ada yang menyoroti. Banyak orang yang mengamati tingkahmu. Makanya ibu cerewet ke kamu, Za. Tapi ternyata semuanya percuma." Nada kecewa yang terlontar di setiap kalimat sang ibu makin membuat Faiza merasa nyeri. Ia bahkan baru menyadari jika apa yang selama ini dilakukannya dibelakang orang tuanya benar-benar terlalu jauh. Benar-benar tidak pantas.

"Mulai besok ayah yang akan mengantar jemput kamu kerja." Suara Cokro terdengar setelah sejak tadi hanya membisu dan menjadi pendengar.

"Tapi, Yah..." Faiza merasa

"Nggak ada tapi tapian, Za," ucap Roisah tegas.

"Mas Nazril berniat serius, Bu. Dia ingin menemui Bapak dan Ibu."

"Mana buktinya? Dia tidak mempunyai niat untuk ke sini, kan? Malah justru bawa kamu ke mana-mana." Suara Roisah berubah emosi.

"Mas Nazril sudah bilang, Bu. Dia akan menemui Bapak dan Ibu." Faiza mencoba membela.

"Tapi buktinya mana, Za? Sampai sekarang dia tidak ke sini. Bahkan sampai ketahuan kayak gini. Jadi kamu nggak usah belain dia terus. Kalau dia berniat baik sejak awal dia tidak akan sembunyi-sembunyi bahkan sampai bawa kamu ke Surabaya dan Malang."

"Itu karena Ibu sejak awal sudah antipati sama dia. Aku jadinya melarang dia ke sini karena takut Ibu dan Bapak tidak setuju. Ibu selalu menjelek-jelekkan dia. Anak tukang selingkuh. Anak pria tidak bertanggung jawab. Aku akhirnya jadi takut untuk bawa dia ke sini."

Helaan napas Cokro berikan untuk argumen putri bungsunya sebelum akhirnya pria baya itu berucap, "Za. Apapun itu, seorang pria yang baik tidak akan menunda niatnya untuk dekat dengan seseorang yang dipilihnya untuk menjadi pendamping hidup. Jika dia memang menghargai kamu, dia tidak akan sembunyi-sembunyi apalagi membawa kamu sampai keluar kota. Dia akan ke sini meskipun dengan resiko ditolak."

"Lalu jika Mas Nazril beneran ke sini apakah Bapak dan Ibu akan menerimanya?" Pertanyaan Faiza tak mendapatkan respons. Gadis itu sadar betul apa hasil yang ia dapatkan.

"Meskipun dia ke sini, Bapak dan Ibu tidak akan menerimanya, kan? Jadi semua usahanya bakal percuma meskipun dia ke sini lebih awal. Toh, tetap ditolak. Hal itulah yang membuatku melarangnya untuk datang ke sini."

Setelah keheningan yang cukup lama, akhirnya Cokro berucap, "Setidaknya jika dia datang ke sini lebih awal, hal itu akan menunjukkan jika dia pria yang lebih bermoral. Tidak dengan sengaja membawa anak gadis orang tanpa izin orang tuanya. Itu yang harus kamu catat, Za!"

"Sebaik apapun dia, Bapak dan Ibu tidak akan menerimanya, kan? Sebenarnya apa yang Bapak dan Ibu cari? Dia pria yang baik. Pria yang peduli kepadaku. Dia juga sosok yang sopan dan pekerja keras." Faiza kembali membela.

"Kalau dia pria yang baik, dia tidak akan mengajak kamu untuk bertemu di luar kota hanya berdua saja. Itu saja sudah tidak bisa disangkal. Jadi, jangan terus menerus membela dia. Perkara siapa orang tuanya, bagaimana latar belakangnya sebenarnya masih bisa dibicarakan. Tapi yang membuat Bapak dan Ibu kecewa, dia dengan terang-terangan membawa kamu ke Surabaya dan Malang. Dan itu tidak hanya sekali. Belum lagi ulah yang sudah kalian lakukan di Riverside. Itu yang ketahuan, bagaimana dengan yang tidak ketahuan. Kamu akan paham hal ini jika sudah menjadi orang tua seperti kami. Terutama jika mempunyai anak perempuan." Kalimat dengan nada tinggi yang dilontarkan sang ibu seketika membuat Faiza tak berani untuk kembali membantah.

"Mumpung hubungan kamu masih belum terlalu dalam, lebih baik segera akhiri. Demi kebaikanmu dan dia juga. Kelak kamu akan bertemu orang yang lebih menghargai kamu, yang tidak mengambil keuntungan dari ketidaktahuanmu." Kalimat itu meskipun sebelumnya sudah Faiza duga akan terucap dari ayah atau pun ibunya. Namun, saat benar-benar mendengar secara langsung tentu saja masih menimbulkan efek yang mengecewakan. Akankah hanya sampai seperti ini saja hubungannya dengan Nazril? Tanpa perjuangan ataupun pembelaan.

###

Nia Andhika
16052024

Resolusi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang