Haloooo....
Suaranya mana?
Bintangnya mana?
Happy reading, ya. 😘😘😘
###
Faiza saling pandang dengan Nazril. Raut tanya terlihat di wajah gadis itu. Lalu anggukan pelan Nazril berikan agar gadis itu tak meragu.
"Mohon maaf, Pak Bima, tapi Bapak harus diperiksa. Setidaknya luka Bapak harus dibersihkan." Setelah mengatakan kalimat itu Nazril memberanikan diri memasuki kamar. Ia tahu apa yang ia lakukan tidak sopan dan tak seharusnya ia melakukan hal ini. Namun, mengingat pria ini bukan tamu biasa. Ia tak bisa mengabaikan begitu saja. Meskipun Narendra telah mengusir pria itu, tapi Kirana, istri Narendra tadi meminta untuk terus memantau kondisi dan menyediakan semua kebutuhannya.
"Saya sudah bilang kalau baik-baik saja." Bimantara, pria yang terbaring di dalam kamar itu mengulang kalimatnya. Matanya terbuka perlahan disertai desahan lelah.
"Saya perlu memastikannya, Pak. Sesuai perintah Mbak Kirana."
Lagi-lagi desahan lelah terdengar dari mulut pria itu akibat kekeraskepalaan Nazril.
"Lakukan apapun sesukamu," ucap pria itu tak peduli. Membuat Nazril tersenyum puas atas kepatuhan pria itu. Diliriknya Faiza yang berdiri di belakangnya. Pria itu memberi kode agar Faiza mendekat.
"Ini Perawat yang akan memeriksa dan merawat luka Bapak. Sambil lalu saya akan meminta seseorang mengirimkan makan malam ke sini." Ucapan Nazril tak mendapat respons. Pria itu akhirnya meminta Faiza untuk melakukan tugasnya.
Gadis itu pun membuka tas jinjing berukuran sedang yang sedari tadi ia bawa. Diletakkannya benda itu di atas meja kopi tak jauh dari ranjang. Satu persatu isi tas itu ia keluarkan. Sementara itu Nazril duduk di sofa menunggu di arah berlawanan.
Hal pertama yang Faiza lakukan adalah menanyakan kondisi dan apa yang dirasakan pria itu. Namun, ia hanya menelan kekecewaan saat pria itu enggan membuka mulut. Beberapa kali pertanyaan lain terlontar dari mulut Faiza. Namun, pada akhirnya gadis itu hanya membisu karena si lawan bicara enggan memberikan jawaban. Benar-benar merepotkan.
Hingga kebisuan itu pun berakhir saat ponsel Nazril berdering. Pria itu segera bangkit dari sofa. Sebelum meninggalkan kamar untuk menerima panggilan telepon, pria itu mengatakan akan memesankan makan malam untuk Bimantara.
Kini, sepeninggal Nazril. Faiza hanya mampu membisu bersama pria asing itu. Ia mulai memeriksa pria itu. Setidaknya meskipun enggan membuka mulut pria itu masih mau melakukan perintah Faiza.
"Tiga puluh sembilan koma dua, Pak," ucap Faiza saat membaca angka yang tertera pada termometer yang ia gunakan untuk mengecek suhu Pria asing itu.
"Setelah ini Bapak harus makan lalu minum obat. Tekanan darah Bapak juga rendah. Apa Bapak merasa pusing?"
Pria itu mendesah sebelum melontarkan kalimat yang sama, "Saya baik-baik saja."
Faiza tersenyum miris. Meskipun tak tahu apa yang telah terjadi pada pria ini. Namun, ia merasa jika pria ini bukanlah orang jahat meskipun Narendra memukulinya. Ia justru merasa... Entahlah. Sedih, tak tega mungkin ungkapan yang tepat saat melihat kondisi pria ini.
"Izinkan saya memeriksa luka-luka, Bapak. Agar saya bisa membersihkan dan melakukan tindakan yang tepat atas luka-luka tersebut."
"Kamu tidak perlu melakukan hal itu. Pulanglah. Sudah cukup larut. Tidur akan membuat saya lebih baik," ucap pria itu tanpa memandang Faiza.
Faiza menjatuhkan bahunya lunglai. Namun, ia tak akan menyerah.
"Bapak akan istirahat setelah ini dan tentu saja dengan kondisi yang lebih baik. Oh, ya, selain di wajah, di bagian mana Bapak terluka?"
Pria itu masih mengabaikan Faiza. Seolah semua baik-baik saja, Faiza segera memutar tubuhnya. Ia ke kamar mandi untuk mengambil air hangat lalu tanpa kata kembali duduk di ranjang dan siap untuk melakukan niatnya. Benda-benda yang ia butuhkan pun telah ia keluarkan dari tasnya.
"Mohon maaf, Pak. Luka Bapak di pelipis sepertinya cukup dalam, butuh dibersihkan." Faiza memandang luka yang cukup mengerikan di pelipis pria itu. Ia bergidik ngeri. Bagaimana mungkin pria penyabar seperti Narendra bisa melakukan hal brutal seperti ini? Narendra tidak hanya sekadar memukul saja. Namun, pria itu hampir menghabisi satu nyawa. Tidak hanya di pelipis, bekas lebam dan memar itu juga terlihat di pipi dan bibir pria itu yang sobek. Ia yakin ada luka lain di sekujur tubuh pria itu.
Hening.
"Pak." Faiza sudah siap dengan cairan antiseptiknya. Ia hanya perlu membubuhkan benda di tangannya ke wajah pria itu.
Hening sekali lagi.
"Saya mohon. Sebentar saja lalu saya tidak akan mengganggu Bapak untuk istirahat."
Tak lama kemudian tubuh pria itu bergerak mencoba untuk duduk bersandar pada kepala ranjang. Namun, karena sepertinya pria itu diserang rasa pusing, ia menghentikan gerakannya. Hal yang disadari Faiza lalu gadis itu dengan sigap membantu pria itu duduk. Ia menata bantal di belakang pria itu hingga cukup nyaman untuk bersandar. Faiza berdecak dalam hati. Bahkan untuk duduk saja pria ini kesulitan, tapi kenapa masih keras kepala tidak mau diperiksa kondisinya.
Rasa panas merebak di tubuh Faiza saat gadis itu berusaha membantu Bimantara untuk duduk. Ia sempat berjengit kaget saat merasakan hawa panas tubuh pria itu yang ia rasakan.
"Bapak minum dulu, ya, agar lebih segar." Faiza mengulurkan sebotol air mineral yang berada di samping ranjang setelah ia membantu pria itu duduk.
Hal yang disyukuri Faiza, pria itu menurut. Ia menerima air itu lalu meminumnya. Faiza mengambil air kemasan itu setelah pria itu meminumnya. Tangannya kembali bergerak meraih benda-benda yang akan ia gunakan untuk membersihkan luka di wajah pria itu.
"Mohon maaf, Pak. Rasanya akan sedikit nyeri," ucap Faiza sebelum kemudian mulai menempelkan kapas basah itu di kening Bimantara. Refleks pria itu berjengit kaget merasakan sengatan nyeri.
"Sepertinya kita perlu sedikit jahitan di sini, Pak. Kalau di bagian lain masih aman. Luka ini cukup dalam." Faiza berucap tanpa mendapatkan respons. Pria itu hanya membisu. Hal yang diartikan Faiza bahwa pria itu mau mengikuti keinginannya. Hal yang tak disia-siakan. Gadis itu segera menyiapkan apa yang ia butuhkan dan setelahnya ia sudah berkutat dengan luka pria itu.
Selama melakukan tugasnya Faiza berusaha menahan napas saat posisinya benar-benar berdekatan dengan pria itu. Apalagi saat wajah mereka hanya terpisah tak lebih dari sejengkal. Faiza menyesali kebodohannya yang melupakan kaca matanya. Kini, untuk memastikan ia melakukan pekerjaannya dengan benar hanyalah mendekatkan pandangannya pada luka di hadapannya.
Ia bahkan merasakan embusan napas pria itu yang terasa panas di lehernya. Membuatnya bergidik oleh rasa ngeri. Namun, bukan ngeri menakutkan seperti yang pernah ia rasakan sebelumnya. Satu yang patut ia syukuri, ia masih mengenakan masker. Membuat napas mereka tak bercampur di udara.
##
Nia Andhika
27012024Gimana...
Gimana...
Sejauh ini adakah titik terang? Eheeee....
Yang sudah pernah mampir di lapak Riverside mungkin jalannya udah nggak gelap lagi 😂😂😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Resolusi Hati
RomanceHidup sebagai bungsu dari lima bersaudara dan menjadi satu-satunya perempuan tidak selalu menjadi hal yang menyenangkan. Apalagi jika mempunyai orang tua dan kakak-kakak yang selalu mengatur setiap langkah yang akan dijalani. Bukan cuma langkah, bah...