3

554 140 28
                                    

Halooo....

Rajin banget kan updatenya? Wkwkwk..... Moga aja bisa terus rajin 😁😁😁

Btw, mana suara ya?

Bintangnya mana?

Yuk, mulai ramaikan!

###

"Ada tiga jahitan di kening Bapak. Kebetulan saya bawa beberapa obat nanti silakan diminum setelah makan. Besok saya akan ke sini untuk memeriksa Bapak lagi." Faiza berucap pelan setelah menyelesaikan satu pekerjaannya. Saat ia kembali menghadap pria itu dan tanpa peringatan langsung menempelkan kapas basah di sudut bibir pria itu, ia seketika tercekat.

Pria itu menggenggam tangannya kuat, matanya menyorot tajam meskipun raut muram terlihat cukup pekat di sana. "Tidak usah." Pria itu tak ingin Faiza melakukan apapun pada dirinya lagi. "Ini saja sudah cukup, terima kasih," ucap pria itu pelan tanpa membuang pandangan dari mata Faiza. Gadis itu pun terkejut tak mampu berucap apapun. Apalagi saat mata mereka bertaut. Mata pekat yang terlihat begitu tajam dan dalam. Mata yang seolah menyimpan banyak misteri dan entah kenapa Faiza seolah tenggelam di dalamnya.

Sedari tadi meskipun mereka berhadapan, Faiza tak sekalipun melihat wajah pria ini dengan begitu jelas. Ia lebih fokus ke luka-luka dan memar yang menyebar di wajah pria yang tak bisa dikatakan biasa-biasa saja itu. Wajah kokoh pria itu benar-benar sempurna dipadu dengan mata yang Faiza yakin akan membuat banyak perempuan di luar sana tergila-gila. Dengan wajah babak belur seperti saat ini saja, pria itu terlihat masih begitu mempesona, apalagi saat dalam kondisi baik-baik saja.

Seketika Faiza tersadar. Ia segera menebas pikirannya yang mulai meliar. Dalam situasi seperti saat ini bagaimana ia bisa berpikiran kotor di depan seorang pria dewasa dan lebih parahnya lagi pria itu adalah pasien yang dibawa oleh kekasihnya.

Faiza menarik tangannya yang masih berada dalam genggaman pria itu. Untung saja pria itu langsung melepaskannya. Dengan kikuk Faiza membuang pandangannya dari mata pria itu.

"Maaf, Pak. Saya hanya ingin mengobati luka, Bapak," bisik Faiza lirih.

"Terima kasih. Saya sudah baik-baik saja. Kamu bisa pulang sekarang. Besok tidak usah ke sini lagi."

Faiza bingung harus mengatakan apa. Jika pria ini memang tak menginginkan kedatangannya ia tak mungkin memaksa terus menerus. Akhirnya, hanya anggukan yang Faiza berikan.

"Bapak harus makan dan minum obat setelah ini. Sebentar lagi makanannya akan datang." Faiza seketika sadar jika Nazril belum kembali sejak pria itu menerima panggilan telepon.

Hening. Tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Faiza benar-benar kebingungan harus melakukan apa. Setelah berpikir sesaat, ia pun membereskan semua peralatannya. Lalu memasukkannya ke dalam tas yang selalu ia bawa setiap pulang dan pergi bekerja. Ia tak pernah tahu musibah atau kecelakaan kecil bisa saja terjadi di mana saja, jika ia bisa memberi pertolongan pertama secepatnya maka ia akan melakukan hal itu.

Tak lama berselang, ketukan terdengar di pintu bungalo. Saat Faiza bergegas membuka pintu, Darto berdiri dengan nampan berisi makanan dan minuman lengkap dengan buahnya. Faiza menerima nampan itu lalu membawanya masuk ke kamar. Menanyakan apakah pria itu berkeinginan makan di atas ranjang ataukah keluar untuk duduk di meja makan.

Pria itu meminta meletakkan nampan di atas meja kecil di depan sofa di salah satu sisi kamar. Lalu tak lama setelahnya pria itu berjalan pelan kemudian duduk di sofa. Faiza mengikuti di belakang takut jika pria itu tiba-tiba roboh begitu saja. Namun, jika dipikir lagi, seandainya pria itu roboh pun ia tak akan mampu berbuat apa-apa. Tubuh tinggi besar pria itu tak mungkin mampu Faiza bopong atau hal sejenisnya.

Resolusi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang