6

463 130 14
                                    

Syelamat pageeee....

Adek Faiza datang untuk menghangatkan page berhujan kalian.

Bintangnya manaaaa....

Yuk, ramein biar penulisnya syemangat.

###

"Kok rapi, Za. Mau ke mana?" tanya Roisah. Setaunya, hari ini putrinya itu mendapatkan jatah libur dan biasanya setelah salat subuh Faiza akan kembali tidur atau sekadar membantunya di dapur, bukan berpakaian rapi meskipun tidak mengenakan seragam dinasnya.

"Aku mau ke Riverside, Bu," jawab Faiza sambil meletakkan tasnya di ujung meja makan. Ia lalu mengambil piring dan mengisinya dengan nasi.

"Kenapa lagi kok ke Riverside?" Roisah makin penasaran. Semalam ia terpaksa memendam rasa penasarannya karena putrinya enggan banyak berkomentar.

"Untuk ngecek jahitan yang kemarin, Bu."

Roisah seolah terlonjak. "Emangnya parah, ya, Za? Kok sampai dijahit. Ibu kira saat kamu bilang kemarin itu cuma luka-luka biasa. Emang luka karena apa, Za, kok sampai dijahit."

Pertanyaan yang mudah sebenarnya, tapi jika Faiza menjawab, maka ibunya akan terus menerus merongrongnya.

"Aku nggak banyak nanya, Bu. Sungkan. Aku cuma periksa aja, terus lihat ada yang butuh dijahit, ya aku lakukan." Jawaban itu rupanya ampuh membungkam ibu Faiza. Terbukti wanita itu tak melanjutkan pertanyaannya. Meskipun Faiza tahu hal itu tak akan berlangsung lama karena saat Faiza menyelesaikan sarapannya, ibunya pasti akan memberondongnya dengan pertanyaan kritis yang biasanya membuat Faiza tak berkutik.

"Aku berangkat dulu, ya, Bu." Faiza cepat-cepat berpamitan setelah menyelesaikan sarapannya. Ia meneguk air dengan cepat kemudian mencium punggung tangan ibunya, lalu kedua pipi wanita itu. Pagi ini sang ayah sudah berangkat bekerja terlebih dahulu. Ada kerja bakti sebagian warga yang harus diawasi.

"Kamu bareng Mas Firman aja, nggak usah bawa sepeda motor sendiri." Roisah mencegah saat Faiza berniat mengeluarkan sepeda motor dari garasi rumah.

"Pulangnya nanti bingung, Bu. Mending bawa sendiri aja. Lagian Mas Firman sepertinya masih belum selesai." Faiza menyebut salah satu kakaknya yang kebetulan tinggal di rumah sebelah.

Dari keempat kakak Faiza, dua di antaranya tinggal di desa yang sama dengannya sedangkan dua lainnya tinggal di desa sebelah. Tak ada yang menikah dan tinggal di luar kota. Roisahlah yang menginginkan hal itu. Dekat dengan semua anak, menantu, dan cucu-cucunya.

"Ya sudah, hati-hati kalau begitu. Kalau sudah selesai langsung pulang." Roisah akhirnya melepas putrinya dengan berat hati.

Selang beberapa menit kemudian Faiza sudah tiba di Riverside. Sesaat setelah mematikan mesin motornya, ia pun menghubungi Nazril. Pria itu mengatakan jika tiga puluh menit yang lalu sudah berangkat rapat ke kantor bupati bersama pemilik Riverside. Pria itu memintanya untuk langsung menuju bungalo Bimantara dan memeriksanya.

Setelah menyelesaikan percakapannya, Faiza pun akhirnya berjalan menuju lobi Riverside dan menyampaikan tujuannya meskipun Nazril sebelumnya telah menyuruhnya untuk langsung ke bungalo Bimantara. Ia merasa terlalu lancang jika langsung menuju bungalo Bimantara tanpa izin terlebih dahulu. Beruntung, seorang pemuda mengantarkannya menuju bungalo pria itu.

Pintu bungalo terbuka setelah Faiza menekan bel dua kali. Raut lega seketika tercetak di wajah Faiza saat si penghuni bangunan itu membuka pintu. Setidaknya pria itu sudah mampu bangun untuk membukakan pintu dan tentu saja pria itu terlihat lebih sehat dari sebelumnya.

"Selamat pagi Pak Bima. Bagaimana kabar Bapak? Bolehkah saya masuk untuk memeriksa kondisi Bapak?" sapa Faiza dengan nada ceria.

Pria itu hanya menaikkan sudut bibirnya sedikit lebih tinggi untuk membalas sapaan Faiza. Tangannya bergerak melebarkan pintu agar Faiza masuk. Setelah gadis itu masuk, pria itu kembali menutup pintu.

"Apa Bapak sudah sarapan pagi ini?" Faiza kembali berucap meskipun pertanyaan sebelumnya belum pria itu jawab.

Gelengan pelan Faiza dapatkan dari pria itu yang kemudian duduk di sofa panjang. Faiza mengikuti pria itu lalu duduk di ujung sofa.

"Bagaimana tidur Bapak semalam. Apa ada keluhan?"

Pria itu tampak mengembuskan napas berat sebelum kemudian melontarkan jawabannya, "Saya baik-baik saja dan hari ini jauh lebih baik dari sebelumnya."

Faiza melebarkan senyuman.

"Bisa kita mulai sekarang, Pak. Saya akan mengecek kondisi Bapak." Tak ingin terlibat kecanggungan lebih lama, Faiza pun segera menjalankan niatnya. Pria itu pun tak berkomentar saat Faiza membuka tas yang ia bawa lalu mengeluarkan peralatan yang ia butuhkan. Dimulai dari mengecek suhu dan tekanan darah pria itu. Senyum lega kembali tercetak di bibir Faiza saat melihat hasil yang ia dapatkan. Setelahnya ia memeriksa luka-luka di wajah pria itu tak terkecuali jahitan yang telah ia berikan semalam. Kali ini ia tak melupakan kaca matanya. Ia tak ingin kejadian semalam terulang lagi saat ia memeriksa luka dan memberikan jahitan di kening Bimantara.

"Saya akan berikan obat lagi. Diminum setelah makan, ya, Pak. Kalau nanti atau besok ada keluhan, Bapak bisa menghubungi dokter terdekat di tempat tinggal Bapak. Tapi semoga saja hal itu tidak terjadi."

Hening. Tak ada pembicaraan di antara mereka. Hal yang membuat Faiza mulai merasa canggung karena pria itu enggan meresponsnya.

"Bagaimana kondisi Bapak tadi malam setelah saya pulang. Apakah masih mual dan muntah lagi?" Pertanyaan itu terlontar setelah keheningan menelan mereka dan Faiza telah selesai memeriksa kondisi Bimantara.

"Saya sudah bilang kalau saya baik-baik saja," jawab pria itu pelan. Faiza menghentikan gerakan tangannya yang sedang membereskan barang-barangnya di meja.

"Dari tadi malam Bapak juga mengatakan hal yang sama. Bahkan saat Bapak nyaris pingsan di kamar mandi, Bapak tetap mengatakan hal itu." Faiza mengulas senyuman.

"Kamu ternyata cukup keras kepala." Bimantara akhirnya melepas senyuman. Membuat Faiza yang belum pernah melihat senyum pria itu terhenyak untuk sekian detik lalu tergeragap setelahnya. Bukannya apa, dalam keadaan berwajah muram dan kacau seperti semalam saja pria itu terlihat mempesona, apalagi saat ini. Pria itu terlihat jauh lebih segar dan seolah lebih hidup dari sebelumnya. Ditambah senyum yang bagi Faiza terlihat begitu mematikan itu. Setidaknya Faiza harus berulang kali meyakinkan dirinya untuk tidak jatuh terpesona pada pria asing ini.

Dan satu lagi. Apa tadi yang pria itu bilang? Keras kepala? Seumur hidup baru kali ini ada orang yang menyebutnya keras kepala. Selama ini yang orang tahu adalah Faiza si gadis penurut nan santun. Lalu kenapa pria itu bisa menyebutnya keras kepala? Apa yang salah dengan dirinya?

Tak mau larut dalam pikirannya yang semakin meliar, Faiza pun segera menimpali ucapan pria itu, "Bapak sarapannya mau di sini atau bagaimana?"

"Saya masih kenyang nanti saja sarapan."

Faiza sudah menduga jawaban itu. Ia pun segera Menimpali, "Mas Nazril berpesan agar saya memastikan Bapak makan dan minum obat. Mbak Kirana yang meminta memastikan hal itu. Jadi mungkin ada menu sarapan apa yang Bapak inginkan?"

Desahan lelah terdengar dari mulut Bimantara. Pria itu akhirnya menurut. Saat Faiza kembali menanyakan menu untuk sarapannya, pria itu hanya mengatakan terserah. Hei! Mana ada menu terserah. Faiza hanya mampu mengeluh dalam hati.

###
Nia Andhika
03022024

Sampai di sini gimana dengan pemantauan para peramal cuaca?

Ke mana kapal kita berlabuh?



Resolusi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang