6. Sebuah Kesepakatan

20.9K 872 323
                                    

“Papa.” Kala terbangun jauh lebih awal dibanding biasanya, dan ketika sadar Tristan tidak berbaring di sebelahnya, Kala langsung memanggil berulang kali. “Papa.”

Anak itu pun turun dari tempat tidur untuk mencari Papanya.

“Papa mana?” Kala menoleh ke segala arah dengan wajah ketakutan. Sekarang baru pukul empat pagi, sedangkan Kala mulai duduk di lantai dan menangis kembali. “Papaaa!”

Di kamar sebelah, Tristan berusaha menutup telinganya menggunakan bantal.

“Papaaa!”

Pemuda itu mendengkus keras sembari memejamkan mata supaya bisa tidur nyenyak seperti sebelumnya.

“Huaaa!”

“Anak sialan,” umpat Tristan sambil bangkit dari tempat tidurnya. Ia berdecak sebal dan mulai keluar dari kamar yang ia tempati menuju kamar di mana Kala berada. Tristan membuka pintu kamar dengan kasar hanya untuk mendapati Kala menangis dan duduk di lantai.

Kala yang melihat Papanya datang, lekas berlari memeluk pria itu. Tristan langsung merotasikan bola mata.

“Kenapa Papa ga di camping Caya? Caya takut tidul cendili, nanti ada mostel, ada Cus jaat juga yang datang tampal Caya.” Anak itu menempelkan wajahnya di kaki Tristan.

Tristan mendorong Kala pelan. Setidaknya sampai pelukan anak itu lepas dari kakinya.

“Monster itu nggak ada, Sus itu juga udah pergi. Jadi sana tidur lagi.”

Kala menggeleng. “Mau ditemani Papa.”

“Nanti saya temani.” Tentu saja Tristan berbohong.

“Caya maunya cekalang.”

Ini masih sangat pagi dan Tristan sudah dibuat mendengkus berulang kali oleh bocah ini.

“Caya ga belani tidul cendili.”

“Ya udah kalau gitu nggak usah tidur,” balas Tristan ketus sebelum kemudian pergi dari hadapan Kala yang ternyata juga mengekorinya. “Ngapain kamu ngikutin saya?”

Kala tidak menjawab, ia hanya memadang Papanya dengan tatapan memelas.

“Sana balik ke kamar.”

Anak itu menggeleng. Bibirnya mulai gemetar.

“Jangan ikutin say—”

Selanjutnya Kala kembali menangis keras bahkan sebelum Tristan selesai bicara. Tristan mau mengabaikannya, tetapi Kala terus-terusan memeluk kakinya dan memohon agar ditemani. Agaknya anak itu benar-benar dibuat trauma oleh Sus Yuli. 

“Lepasin kaki saya.”

Kala menggeleng lagi.

“Lepas!”

Biasanya teriakan Tristan selalu berhasil membuat Kala gentar, namun kali ini anak itu malah semakin mengeratkan pelukan. Alhasil, Tristan harus melepasnya secara paksa.

“Ga mau cendili! Caya ga mau ditinggal cendili!” Anak itu berlari lagi ke arah Tristan. Mencoba menyusul sekuat tenaga. Sayangnya, Tristan sudah menutup pintunya terlebih dahulu. Membuat Kala hanya bisa meraung di depan pintu. “Papaaa Caya takuuut!”

Di dalam kamar, Tristan mengepal tangan, mencoba mengatur emosinya yang nyaris meluap setiap kali suara tangisan Kala tiba di telinganya. Seperti halnya tangisan ibu dari anak itu, wanita yang secara tidak sengaja Tristan hamili lima tahun yang lalu.

“Papaaa!” Kala memukul-mukul pintu. “Bukaaa!”

Tristan sangat menyukai dan menyayangi semua anak kecil, tetapi ia tidak bisa—atau lebih tepatnya tidak ingin menyayangi Kala. Ia tidak mau berbagi kasihnya sedikit pun kepada anak itu meski sebelum meninggal, Ibunya Kala sudah berpesan supaya Tristan membesarkan anak mereka dengan penuh cinta.

Anak Mantan (A Lovely Thing Called Hope) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang