8. Pewaris Utama

23.7K 984 191
                                    

Malam pertama di rumah Tristan, Khanza tidak bisa tidur tenang. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, wajah menyebalkan pemuda itu selalu tampil dalam bayangannya. Khanza berdecak geram, lanjut mengubah posisi menjadi menyamping, menatap dinding kamar berwarna putih dan sangat bersih. Sebenarnya, jemari kakinya yang terkena kuah mie panas masih sedikit perih, hanya saja Khanza memilih untuk mengabaikannya.

“Gimana pun sikap Tristan nanti, gue harus bisa tahan kerja di sini setidaknya satu bulan,” gumam Khanza sendirian. Ia sudah bertekad untuk menjadi babysitter untuk Kala setidaknya selama satu bulan ke depan, karena bila kurang, besar kemungkinan Tristan akan meminta uangnya kembali. Tetapi kalau Tristan tidak bersikap menyebalkan, Khanza akan sangat senang mengasuh Kala untuk waktu yang lama. Karena selain gajinya besar, Kala juga anak yang baik dan menggemaskan. Jadi Khanza sangat-sangat menyukainya.

Sementara di sisi lain, Tristan terus mondar-mandir di kamarnya karena terus terjaga karena alasan yang tidak biasa.

“Sial.” Tristan duduk di tepi tempat tidur dan menyugar rambutnya ke belakang. Ia memang tidak mendapat gangguan dari Kala, tetapi sebagai gantinya ia dibuat tidak tenang oleh Khanza. “Bisa-bisanya gue kepikiran dia terus.”

Tristan membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Berusaha memejamkan mata supaya dirinya mendapat tidur yang cukup dan berkualitas. Nahasnya, usahanya malah sia-sia karena Tristan dan Khanza sama-sama terus terjaga hingga pagi.

Tetapi karena Tristan sudah biasa begadang karena karena pekerjaan, jadi dia tetap terlihat segar ketika pagi. Tentu saja bertolak belakang dengan Khanza yang menguap berulang kali. Alhasil, begitu jam menunjuk pukul enam pagi, Khanza langsung beranjak untuk mandi. Ia tidak mau rasa kantuk itu mengganggu pekerjaannya hari ini. 

Setelah mandi, mengenakan pakaian dan mengikat rambutnya, Khanza segera keluar dari kamarnya untuk menuju kamar Kala. Rupanya, anak itu masih terlelap dengan posisi menyamping dan memeluk guling.

Melihatnya, Khanza langsung menarik senyum hangat. Ia duduk di tepi ranjang dan mulai menatap Kala lebih dalam. Mulai dari rambut yang legam, kulit yang begitu cerah, hidung mancung, hingga bibirnya yang tipis dan merah muda. Paras anak itu luar biasa, tampan seperti Papanya.

“Engh …” Tiba-tiba Kala melenguh. Mata yang tadinya tertutup tiba-tiba terbuka. Selanjutnya anak itu menguap lebar dan mulai mengusap-usap kelopak matanya dengan punggung tangan. Namun, senyumnya langsung merekah begitu sadar bila ada seseorang yang menanti ia terjaga. Karena biasanya, ia ditinggal sendirian begitu saja.

“Udah bangun rupanya,” ucap Khanza penuh semangat saat Kala mengubah posisi menjadi duduk. Sesaat kemudian anak itu beralih tidur di pangkuannya.

“Macih mau tidul.” Kala bergumam sembari lanjut memejamkan mata. Sayangnya sebelum ia kembali terlelap, pintu kamarnya sudah dibuka tiba-tiba. Sontak saja pandangan Kala dan Khanza tertuju pada Tristan yang berdiri di depan pintu. “Papa.”

Tristan yang hanya mengenakan kaos putih dan celana hitam berkata, “jangan terlalu manjain dia.”

Khanza terdiam. Tangannya mengusap-usap rambut Kala yang masih tidur di pangkuannya.

“Ajarin dia mandiri dan disiplin biar pas udah gede dia nggak ngerepotin saya,” tambah Tristan lagi. Membuat Khanza mendengkus pelan. Ini masih pukul tujuh pagi dan ia sudah mulai diceramahi seperti ini. Sebenarnya ia tidak begitu mempermasalahkannya apabila Tristan tidak terang-terangan mengomel di hadapan Kala. 

“Kala sebentar ya, Kakak mau bicara sama Papanya Kala dulu.” Khanza berkata lembut sehingga perlahan-lahan Kala mulai bergeser dari pangkuannya.

“Em. Tapi jangan yama-yama,” pinta anak itu dengan bibir sedikit manyun. Khanza mengangguk dan tersenyum. Setelahnya barulah dia menghampiri Tristan.

Anak Mantan (A Lovely Thing Called Hope) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang